Monday, July 2, 2012

ASWAJA ala Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama diantaranya adalah memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa menyatukan antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.

Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan beliau amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan akhlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam.

Ciri utama Aswaja NU adalah sikap tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara ”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal zhanniyyat.

Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih baik, dengan sikap ini Aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima salah satu dari keduanya.

Sejarah NU

Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana–setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut  dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi’dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.

Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernamaNahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Sumber Ajaran Aswaja NU

Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola pemecahan masalahnya, antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan (qonuniyah) dan waqi’yah (kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan pendiskripsian masalah berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran islam dengan kepentingan terapan hukum positif,  maka pendekatan masalahnya berintikan ”tathbiq al-syari’

Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual yang bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instan).

Metode pengalian atau pengambilan sumber (referensi) dan langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam tradisi keagaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah Wa al-Jama’ah.
  • Madzhab Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni” dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab, untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al Nawawi)
  • Madzhab Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, serta ijmak
  • Madzhab Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.
Aqidah Aswaja

Ketika Rasullah Muhammad SAW masih hidup, setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin langsung dapat diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi setelah beliau wafat, penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga sering terjadi perbedaan lalu mengedap dan terjadi permusuhan di antara mereka, awal-awal perbedaan muncul persoalan imamah lalu merembet pada persoalan aqidah, terutama mengenai hukum orang muslim yang berbuat dosa besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin ketika dia mati.

Perdebatan ini akhirnya merembet pada persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan manusia dan kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan, ke hudutsan dan ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan tersebut makin meruncing dan kian saling menghujat.

Ditengah-tengah arus kuat perbedaan pendapat munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan kedua pendapat tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan Maturudiyah yang keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah (Aswaja).

Konsep Aqidah Asy’ariyah

Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan dari kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah.pertentangan kelompok tersebut terlihat dari pendapat mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia tidak memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah, bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu sendiri terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat kekuasaan Allah itu mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan Allah terbatas.

Asy’ariyah besikap mengambil jalan tengah (tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia selalu keratif dan berusaha dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh), mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi Mu’taziah Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal, Mu’tazilah memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah akal dibawal wahyu, namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya dalam Asyariyah akal tidak ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran wahyu berserta langka-langkahnya.

Konsep Aqidah Maturidiyah

Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand, wafatnya sekitar tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan konsep Asy’ariyah, namun pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah bermadzhab pada Imam Syafi’i dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada Imam Hanafi.
Konsep jalan tengah (tawasuth) yang ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya pendapat Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga sebaliknya salah jika kita larut dan tidak terkendali dalam mengunakan akal. Artinya sama pentingnya mengunakan nash dan akaldalam memahami kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.

Dengan munculnya Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang Fatalistik dan Qodariyah yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya bagaimana nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.

Syariah ASWAJA an Nahdliyah

Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir ketika beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat menyebarkan ajaran pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang kian dinamis banyak persoalan baru yang dihadapi umat, seringkali hal yang muncul tidak tredapat jawabat secara tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka untuk mengetahui hukum atau ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad.

Pola pemahaman ajaran Islam melalui ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode, prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.

Kenapa harus empat mazhab

Di antara mazhab bidang fiqh yang paling berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali dan Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;
  • Secara kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak diperlukan penjelasan detail.
  • Keempat Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
  • Para Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga sekarang
  • Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.

Tasawuf Aswaja ala NU

Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki prinsip, bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan spiritual, yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup, namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-ra,bu syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Sunnah Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf Aswaja.

Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu dalam bentuk thariqah, tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammmad tidak diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.

Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat mensandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan islam di Indonesia. Dengan model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam secara individu memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah dapat melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial.

No comments:

Post a Comment