Wednesday, July 17, 2013

SEBERKAS CAHAYA





“Hey kamu… mari sini!” sapa Luqman halus kepada seorang bocah yang dengan sengaja mengganggu anak kecil lain yang sedang berpuasa.

“Siapa nama kamu…? Dari mana kamu asalnya …?” tanya Luqman sambil memegang lengan bocah itu. Sebetulnya Luqman gemas, tapi ia tahan kegemasan itu.

Meski ditanya dengan sopan, bocah itu malah balik mendelik ke arah Luqman dan tertawa menyeringai! Tawa bocah itu membuat Luqman melepaskan pegangannya seketika.

Luqman merasa bocah ini bukanlah anak sembarangan. Sungguh pun penampilannya kayak bocah biasa. Kaos plus celana pendek. Agak lusuh, tapi bersih.

Luqman melihat mata bocah itu. Mata itu bukanlah mata anak manusia pada umumnya. Ditambah lagi, sebelumnya Luqman tidak pernah melihat bocah itu di kampungnya. Luqman sudah bertanya ke sana kemari, adakah tetangga kampungnya atau orang di kampungnya yang mengenali siapa bocah itu dan siapa keluarganya. Semua orang yang ditanya Luqman menggelengkan kepala, tanda tidak tahu….

Bocah itu menjadi pembicaraan di Kampung. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja di atasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini, bagi orang kampung, menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan ke sana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat di plastik es tersebut. Pemandangan tersebut menjadi pemandangan biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa. Pemandangan tak mengenakkan ini justru terjadi di tengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.

Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya.

Luqman mendapat laporan dari orang-orang di kampungnya mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memeragakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut. Pernah ada yang melarangnya, tapi kemudian orang itu dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.

Luqman memutuskan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap ba’da dzuhur, anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga!

Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu hadir. Benar, ia menari-nari sambil menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas mengundang orang lain untuk menelan ludah tanda ingin meminum es itu juga. Luqman menegurnya. Cuma ya itu tadi. bukannya takut, bocah itu malahan mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar menelan Luqman.

“Bismillah…” Luqman kembali mencengkram tangan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir kalau memang bocah itu adalah bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan, apa maksud semua ini. Kalau memang bocah itu 

“bocah beneran” pun, ia akan mencari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.

Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman. Luqman menyentakkan tangannya, menyeret halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan mata penuh tanya orang-orang yang melihatnya.

” Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukannya ini adalah kepunyaan saya?” tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman seakan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.

“Maaf ya… Itu karena kamu melakukannya di bulan puasa…,” jawab Luqman dengan halus, “apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa… Lalu bukannya ikut menahan lapar dan haus, kamu malah menggoda orang dengan tingkahmu itu….”

Sebenarnya Luqman masih mau mengeluarkan unek-uneknya, mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap mata Luqman lebih tajam lagi…

“Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal itu ketimbang saya…? Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada sebelas bulan di luar bulan puasa?

Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami?

Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?

Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal?

Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja kalian menahan rasa lapar dan haus? Ketika beduk magrib bertalu, ketika azan magrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian…?”

Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi Luqman kesempatan menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata demikian tegas dan terdengar sangat “menusuk”, kini ia bersuara lirih, mengiba.

“Ketahuilah Tuan…. Kami berpuasa tanpa ujung … Kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa lantaran memang tidak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan berpuasa sepanjang siang saja.

Dan ketahuilah Tuan, justru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuanlah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan Idul Fitri?

Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian juga menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan Idul Fitri?

Tuan… sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya.

Tuan… kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan ini. Apa yang saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami…

Tuan, sadarkah Tuan akan ketidakabadian harta? Lalu mengapakah masih saja mendekap harta secara berlebih?

Tuan… sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling 

Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?

Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukah 

Tuan, akan adanya azab Tuhan yang menimpa…?

Tuan… jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan… jangan merasa perut ‘ kan kenyang esok lantaran tersimpan pangan ‘tuk setahun. Tuan… jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi, kelak…”

Wuah… entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Perkataan demi perkataan meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya!

Hal ini menambah keyakinan Luqman bahwa bocah ini bukan bocah sembarangan.

Habis berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.

Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi. Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu. Di tengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran di depan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman! Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang!

Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, kembali ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irasional, tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa betullah adanya apa yang dikatakan bocah misterius tadi. Bocah tadi memberikan pelajaran berharga, betapa kita sering melupakan orang yang seharusnya kita ingat. Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak.

Bocah tadi juga memberi Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada di atas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.
Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar.

Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata hatinya.

Sekarang yang ada di pikirannya, mau dipercaya atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang. Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki kebercahayaan hati.

Pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir. Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. 

Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya. 

Luqman rindu kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika ia salah.

Kami terus berpuasa meski bukan saatnya berpuasa,

lantaran ketiadaan makanan,

lantaran ketiadaan minuman.

Kami berpuasa tanpa ujung!

kami lapar… sementara perut kalian kenyang.

Kami sakit, tanpa ada obat, apalagi biaya berobat…

sementara kalian menambah terus kesakitan kami

dengan mempertontonkan kemewahan dunia di hadapan kami…

di depan mata kami….

yang sedang berpakaian kemiskinan.

Kami menangis, kami merintih,

adakah di antara kalian yang peduli …?

No comments:

Post a Comment