Tidak seorang pun suka dibohongi. Tapi, kenyataan itu tidak lantas membuat kita berhenti melakukannya.
Ada beberapa jenis kebohongan.
Rasanya hampir semua orang pernah berbohong. Tidak perlu tentang sesuatu yang besar, karena kebohongan itu sendiri selalu bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. Sehingga, terjadinya pun sering kali tanpa disadari. Wah !
Bohong bermacam bentuknya. Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com ) menyebutkan beberapa jenisnya. Antara lain mengatakan yang tidak sesungguhnya (menutupi semuanya), mengatakan dengan tidak sepenuhnya (menutupi sebagian), melakukan yang tidak seharusnya (melanggar komitmen), melakukan yang tidak sepenuhnya (menjalankan komitmen tanpa keikhlasan), melakukan yang tidak sepatutnya (melanggar norma dan hukum).
“Semua itu beberapa contoh perwujudan kebohongan,” buka Anggia. “Bisa berupa korupsi. Tidak hanya uang, tapi juga termasuk korupsi WAKTU. Seperti pulang kerja sebelum waktunya, makan siang yang terlalu lama. Dalam hal hubungan, kebohongan bisa berupa perselingkuhan atau kebersamaan tanpa hati yang tulus,” perincinya.
Anggia memastikan, semua kebohongan besar diawali dari kebohongan kecil yang lalu jadi kebiasaan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, manusia tahu persis aturan-aturan yang mengena pada dirinya, seperti aturan agama, hukum negara dan norma masyarakat. “Minimal, tahu (ketiganya) itu,” kata Anggia.
“Lebih minimal lagi, setiap manusia memiliki hati nurani. Maka pasti, setiap seseorang memulai kebohongan kecil -- sebelum aturan agama, hukum, dan norma dilanggar -- manusia sesungguhnya sudah melanggar hati nuraninya sendiri. Jadi, jika setiap orang dalam kehidupan ini senantiasa mengikuti kata hati nurani, tidak akan ada kebohongan yang berulang,” paparnya.
Masalahnya, kita telanjur sering mengabaikan hati nurani. “Mirisnya, ajaran berbohong itu justru datang dari orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara, dan lain-lain, dengan dalih demi kebaikan,” Anggia menuturkan. Kata-kata “bilang saja”, misalnya, merupakan salah satu wajah manis sebuah kebohongan.
“Nanti kalau guru tanya, ‘bilang saja’ hari ini terlambat karena macet, supaya kamu tidak kena marah. ‘Bilang saja’ semalam kamu tidak enak badan, makanya belum mengerjakan PR. Atau sering juga orang tua tidak terang-terangan mencontohkan kebohongan yang sangat mungkin ditangkap anak, seperti, ‘Mas, nanti kalau orang tuamu datang, ‘bilang saja’ kita sedang banyak perlu, jadi tidak bisa bantu,’” contohnya.
Lebih fatal lagi, seolah ada “keharusan” menjunjung kebaikan, bukan kebenaran. “Daripada menyakiti” -- inilah pembungkus utama. Kebenaran dianggap menyakitkan. Jadi lebih baik berkata atau berbuat baik saja.
“Terbiasalah kita menggunakan kata atau kalimat yang ditutupi sepenuhnya atau sebagiannya dengan tujuan membungkus sebuah kenyataan atau kebenaran agar bisa diterima dengan baik,” terang Anggia.
Kelonggaran yang menyebabkan kebohongan terjadi berulang, yang sedikit demi sedikit menjadi bukit dan kecil-kecil menjadi besar. “Satu kali berbohong, seseorang akan melakukan kebohongan lain untuk menutupinya. Hati nurani diabaikan, sehingga lama-kelamaan mati rasa dan tidak berfungsi,” simpulnya.
Dan semakin sulit lagi bagi seseorang memperbaiki kebiasaan berbohong, karena banyak yang terjadi sekarang ini adalah “kebohongan kolektif”.
Anggia menganjurkan agar kita selalu ingat, bahwa:
Tidak ada kejahatan yang sempurna. Sebelum kebohongan terbongkar saat kita tidak siap, persiapkan diri sekarang juga untuk mengatakan yang sesungguhnya atau mengungkap kebenaran.
Mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, saat ini juga. Jadikan moto ini panutan dalam setiap niat perubahan diri; tentu pada kasus ini adalah untuk tidak berbohong lagi.
Persiapkan diri memantapkan hati untuk selanjutnya selalu berkata dan berbuat benar, bukan berkata dan berbuat baik semata.
Berhenti untuk menjadi (sekadar) baik. Jadilah benar, karena kebaikan sifatnya subjektif dan cenderung sementara. Sedangkan kebenaran itu sama, objektif dan hampir permanen.
Sumber: tabloidbintang
Rasanya hampir semua orang pernah berbohong. Tidak perlu tentang sesuatu yang besar, karena kebohongan itu sendiri selalu bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. Sehingga, terjadinya pun sering kali tanpa disadari. Wah !
Bohong bermacam bentuknya. Anggia Chrisanti Wiranto, konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria (www.westaria.com ) menyebutkan beberapa jenisnya. Antara lain mengatakan yang tidak sesungguhnya (menutupi semuanya), mengatakan dengan tidak sepenuhnya (menutupi sebagian), melakukan yang tidak seharusnya (melanggar komitmen), melakukan yang tidak sepenuhnya (menjalankan komitmen tanpa keikhlasan), melakukan yang tidak sepatutnya (melanggar norma dan hukum).
“Semua itu beberapa contoh perwujudan kebohongan,” buka Anggia. “Bisa berupa korupsi. Tidak hanya uang, tapi juga termasuk korupsi WAKTU. Seperti pulang kerja sebelum waktunya, makan siang yang terlalu lama. Dalam hal hubungan, kebohongan bisa berupa perselingkuhan atau kebersamaan tanpa hati yang tulus,” perincinya.
Anggia memastikan, semua kebohongan besar diawali dari kebohongan kecil yang lalu jadi kebiasaan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, manusia tahu persis aturan-aturan yang mengena pada dirinya, seperti aturan agama, hukum negara dan norma masyarakat. “Minimal, tahu (ketiganya) itu,” kata Anggia.
“Lebih minimal lagi, setiap manusia memiliki hati nurani. Maka pasti, setiap seseorang memulai kebohongan kecil -- sebelum aturan agama, hukum, dan norma dilanggar -- manusia sesungguhnya sudah melanggar hati nuraninya sendiri. Jadi, jika setiap orang dalam kehidupan ini senantiasa mengikuti kata hati nurani, tidak akan ada kebohongan yang berulang,” paparnya.
Masalahnya, kita telanjur sering mengabaikan hati nurani. “Mirisnya, ajaran berbohong itu justru datang dari orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara, dan lain-lain, dengan dalih demi kebaikan,” Anggia menuturkan. Kata-kata “bilang saja”, misalnya, merupakan salah satu wajah manis sebuah kebohongan.
“Nanti kalau guru tanya, ‘bilang saja’ hari ini terlambat karena macet, supaya kamu tidak kena marah. ‘Bilang saja’ semalam kamu tidak enak badan, makanya belum mengerjakan PR. Atau sering juga orang tua tidak terang-terangan mencontohkan kebohongan yang sangat mungkin ditangkap anak, seperti, ‘Mas, nanti kalau orang tuamu datang, ‘bilang saja’ kita sedang banyak perlu, jadi tidak bisa bantu,’” contohnya.
Lebih fatal lagi, seolah ada “keharusan” menjunjung kebaikan, bukan kebenaran. “Daripada menyakiti” -- inilah pembungkus utama. Kebenaran dianggap menyakitkan. Jadi lebih baik berkata atau berbuat baik saja.
“Terbiasalah kita menggunakan kata atau kalimat yang ditutupi sepenuhnya atau sebagiannya dengan tujuan membungkus sebuah kenyataan atau kebenaran agar bisa diterima dengan baik,” terang Anggia.
Kelonggaran yang menyebabkan kebohongan terjadi berulang, yang sedikit demi sedikit menjadi bukit dan kecil-kecil menjadi besar. “Satu kali berbohong, seseorang akan melakukan kebohongan lain untuk menutupinya. Hati nurani diabaikan, sehingga lama-kelamaan mati rasa dan tidak berfungsi,” simpulnya.
Dan semakin sulit lagi bagi seseorang memperbaiki kebiasaan berbohong, karena banyak yang terjadi sekarang ini adalah “kebohongan kolektif”.
Anggia menganjurkan agar kita selalu ingat, bahwa:
Tidak ada kejahatan yang sempurna. Sebelum kebohongan terbongkar saat kita tidak siap, persiapkan diri sekarang juga untuk mengatakan yang sesungguhnya atau mengungkap kebenaran.
Mulai dari yang kecil, dari diri sendiri, saat ini juga. Jadikan moto ini panutan dalam setiap niat perubahan diri; tentu pada kasus ini adalah untuk tidak berbohong lagi.
Persiapkan diri memantapkan hati untuk selanjutnya selalu berkata dan berbuat benar, bukan berkata dan berbuat baik semata.
Berhenti untuk menjadi (sekadar) baik. Jadilah benar, karena kebaikan sifatnya subjektif dan cenderung sementara. Sedangkan kebenaran itu sama, objektif dan hampir permanen.
Sumber: tabloidbintang
No comments:
Post a Comment