ORANG-ORANG yang dekat Gus Dur, bercerita. Jika tak
ada teman yang diajak bicara dan beliau sendirian, maka dalam waktu yang
sunyi sepi itu ia membaca surah al-Fatihah, entah berapa kali. Lalu
membaca shalawat atas Nabi.
Gus Dur kemudian melanjutkannya dengan
tawasul dan berdo’a untuk dirinya sendiri, kedua orangtua, keluarga,
untuk para wali, para ulama yang telah wafat dan untuk bangsa dan negara
yang dicintainya.
Ada juga orang yang bercerita begini. Jika
tangan Gus Dur tak pernah berhenti bergerak-gerak, seperti
mengetuk-ngetuk, sebenarnya dia sedang berzikir: Allah, Allah, Allah.
Tangan itu menggantikan tasbih. Itulah, kata orang-orang dekat Gus Dur,
jalan spiritual atau thariqatnya.
Saya sendiri tak pernah tahu
atau mendengar dan tak pernah bertanya, apakah Gus Dur mengamalkan
thariqat tertentu, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah,
Mawlawiyah, Rifa’iyyah atau yang lainnya. Saya mengira ia tak terikat
pada satu thariqat. Boleh jadi ia juga tak mau berkomentar soal
mu’tabarah (diakui) atau
ghair mu’tabarah
(tidak diakui) dalam hal ini. Baginya, mungkin, semua thariqat baik
adanya. Sebab, ia adalah jalan spiritual yang ditemukan oleh seseorang
dengan pengalamannya masing-masing.
Dalam sejumlah kesempatan,
Gus Dur juga mengagumi cara-cara spiritual yang dijalani oleh para
pengikut agama-agama yang ada di dunia.
Cerita seorang teman mengatakan bahwa ia telah memperoleh
ijazah,
semacam perkenan mengamalkan suatu thariqat, atau “pemberkatan” dari
banyak sekali guru-guru atau “mursyid” thariqat. Bukan hanya dari dalam
negeri, melainkan juga dari luar negeri. Gus Dur terlalu sering
berziarah ke tempat-tempat peristirahatan para pendiri thariqat, seperti
Syiekh Abd al-Qadir al-Jilani di Irak dan lain-lain.
Thariqat (
thariqah)
adalah cara atau jalan menuju Tuhan berdimensi esoterik, batin,
spiritual. Thariqat adalah cara atau jalan menuju Tuhan berdimensi
esoterik.
Para pengikut Thariqat biasanya menempuh perjalanan menuju Tuhan ini
melalui aktifitas ritual-ritual dzikir (mengingat dan menyebut) Tuhan,
permenungan dalam keheningan malam, ketika segala aktifitas manusia
berhenti dan pintu-pintu rumah telah terkunci dan sepi. Dzikir-dzikir,
biasa juga disebut wiridan, kepada Tuhan itu diucapkan mereka
berkali-kali, puluhan dan ratusan kali, hingga Dia melekat di hatinya.
Dia menjadi matanya, menjadi pendengarannya, tangan dan kakinya.
Dalam
tradisi di kalangan masyarakat umum, dzikir-dzikir, doa-doa dan
istighatsah (memohon pertolongan Tuhan), dilakukan sebagai upaya
melepaskan segala kegalauan, kerisauan dan kemelut-kemelut kehidupan
atau untuk meminta sesuatu yang diimpikannya. Ini berbeda dengan para
kaum sufi. Doa dan segala zikir dipanjatkan lebih dalam rangka
memohonkan ampunan Tuhan atas dosa dan kesalahan yang diperbuatnya
sehingga segalanya diridhai dan ia menjadi orang yang dicintai-Nya. Bagi
mereka apapun yang dilakukan dalam kehidupan, tak ada maknanya, tanpa
kerelaan dan cinta Tuhan.
Pada tradisi masyarakat pesantren,
disamping doa, mereka juga biasanya memulai dengan membaca shalawat atas
Nabi dan menjadikan beliau sebagai wasilah (penengah/juru bicara)
kepada Tuhan. Di berbagai negeri Muslim tradisi ini telah berlangsung
sangat lama. Mereka memandang wasilah patut dilakukan. Karena berkat,
atas peran dan melalui beliaulah manusia mengerti tentang Tuhan dan
ajaran-ajaran-Nya. Bahkan dalam tradisi sufisme bahwa demi Nabi
Muhammadlah Tuhan menciptakan semesta.
Mereka menyebutkan kata-kata Tuhan dalam hadits Qudsi, “
Lawlaka Lawlaka Ma Khalaqtu al-Aflak” (Andai tak karena kamu (Muhammad), ya, Andai tak karena kamu, Aku tak Menciptakan cakrawala). Maka masih menurut mereka, “
Awwal Ma Khalaqa Allah, Nur Muhammad” (Ciptaan Tuhan yang pertama adalah “Nur (cahaya) Muhammad.”
Mereka juga meyakini bahwa Nabi Saw adalah
al-Syafi’ (sang
penolong), sebagaimana beliau menolong umat manusia ketika dalam
kegelapan zaman Jahiliyah. Berkat beliaulah umat manusia mendapatkan
cahaya. Al-Qur’an menyatakan hal ini:
هُوَ الَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُم
وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ اِلَى النُّوْرِ.
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْن رَحِيْماً
“Dialah yang memberi rahmat kepadamu (Muhammad) dan malaikat-Nya
(memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan (membebaskan)
mereka dari kegelapan (kebodohan kepada cahaya (ilmu pengetahuan). Dan
adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Q.S.
Al-Ahzab, [33]:43).
PADA AWALNYA, shalawat atas Nabi dianggap sebagai
doa bagi Nabi, karena kecintaan kepadanya. Akan tetapi dalam
perjalanannya ia kemudian dipandang sebagai puji-pujian dan penghormatan
untuk Nabi yang hidup di samping Tuhan. Praktik ini memperoleh
legitimasi dari kitab suci Al-Qur’an.
Tuhan mengatakan, “Jika engkau mencintai Tuhan, maka ikutilah Nabi.
Maka Tuhan akan mencintaimu," Dan bukan hanya manusia yang dianjurkan
Tuhan untuk membaca salawat (penghormatan) untuknya, melainkan juga
Tuhan sendiri dan para Malaikat. Tuhan mengatakan :
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِى يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّو عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْماً
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:56).
Shalawat
dianggap syarat penting agar doa dikabulkan. “Permohonan (doa) akan
dianggap berada di luar pintu langit sampai orang yang berdoa itu
mengucapkan shalawat untuk Nabi.”
Penyair Turki abad pertengahan,
Asyiq Pasha, mengingatkan orang-orang senegerinya tentang eksistensi
primordial Nabi Muhammad saw, yang menjadi suatu segi yang begitu
penting dalam profetologi mistikal:
Adam masih berupa debu dan
lempungMuhammad telah menjadi NabiDia telah dipilih TuhanUcapkan
shalawat untuknya(Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Tuhan, hlm.
145).
Kaum sufi di manapun berada selalu membaca shalawat
berkali-kali baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam jama’ah
(kumpulan/kelompok), untuk mengantarkan permohonannya kepada Tuhan.
Mereka gemar sekali menyenandungkan do’a shalawat itu dalam bentuk
puisi-puisi yang indah. Annemarie Schimmel, pakar mistisisme Islam,
pengagum berat Ibn Arabi dan Rumi, menginformasikan bahwa di beberapa
kalangan Afrika Utara orang bisa mendatangi pertemuan-pertemuan
shalawat di mana orang itu ikut serta dalam doa bersama untuk Nabi dan
berharap agar permintaan yang diucapkan dalam pertemuan semacam itu akan
segera dikabulkan. Salah satu do’a shalawat yang popular di sana adalah
Doa Pelipur Cordova. (Annemarie, hlm. 143).
“Wahai Allah,
berkahilah dengan berkah yang istimewa tuan kami, Muhammad, yang olehnya
segala kesulitan terpecahkan, segala kesedihan terhiburkan, segala
masalah terselesaikan, yang melaluinya hal yang diinginkan dapat dicapai
dan yang dari air mukanya yang mulia awan meminta hujan, dan berkahilah
keluarganya dan sahabat-sahabatnya”.
Betapa pentingnya shalawat
atas Nabi saw untuk mengawali do’a kepada Tuhan, mengingatkan saya pada
Qasidah Burdah, karya sufi penyair Imam Bushairi. Bushiri, sastrawan
sufi legendaries abad ke 13, menulis kasidah ini ketika dia mengalami
sakit berkepanjangan, stroke.
Sepanjang hari sepanjang malam dia
berdoa sampai begitu lelah dan tertidur. Suatu malam ia bermimpi
bertemu nabi. Nabi yang mulia mengusapkan tangannya ke wajah Bushairi
lalu menyerahkan selendangnya (burdah). Bushairi terjaga dari mimpinya
dan melihat dirinya tak lagi sakit. Semula kumpulan Nazham
(puisi-sajak) dengan akhir huruf mim (karena itu biasa disebut ;
Al-Mimiyah) diberi judul panjang: Al-Kawakib al-Durriyyah fi Mad-hi
Khairi al-Bariyyah (Bintang-Gemintang berpendar gemerlap yang memuji
Manusia Paripurna). Akan tetapi karena terlalu panjang hingga
menyulitkan orang menyebut dan mengingatkannya, maka diambillah kata
“Al-Burdah al-Bushiri” (selimut atau selendang).
Ketika saya di
ke Iskandariyah, Mesir, tahun 1982, saya menyempatkan diri ziarah dan
berdo’a di pusara penyair sufi besar ini, tidak jauh dari makam sufi
besar; Said Mursi. Di pesantren, saya sempat menghapalnya meski serba
sedikit. Tetapi banyak santri yang hapal di luar kepala. Di Universitas
Kairo, kasidah ini diajarkan pada setiap hari Kamis dan Jum’at.
Di
bawah ini adalah beberapa saja dari bait puisi Bushairi yang seluruhnya
berisi 160 bait, yang masih saya hapal. Sebuah Puisi yang
memperlihatkan kerinduan Bushairi kepada Nabi Saw. Kasidah ini
didendangkan dengan bahar(nada dan ritme) Basith : Mustaf’ilun fa’ilun.
أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِى سَــــلَمٍ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِـــدَمِ
أَمْ هبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَـــةٍ وأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَـمِ
فَمَا لِعَيْنَيْكَ إِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَــا وَمَا لِقَلْبِكَ إِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِــــمِ
أَيَحْسَبُ الصَّبُّ أنَّ الْحُبَّ مُنْكَتِـــمٌ مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمُضْطَّــــــرمِ
لَوْلَا الْهَوَى لَمْ تُرِقْ دَمْعاً عَلَى طَـلَلٍ وَلَا أرقْتَ لِذِكْرِ البَانِ والعَلــــمِ
فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبّاً بَعْدَ مَا شَــهِدتْ بِهِ عَلَيْكَ عَدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّــــقَمِ
وَأَثْبَتَ الوَجْدُ خَطَّيْ عَبْرةٍ وَضَــنىً مِثْلَ البَهَارِ عَلى خَدَّيْكَ وَالْعَنَــــمِ
نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَـنِي وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتَ بِالْأَلَــــمِ
يَا لَائِمِي فِي الْهَوَى الْعُذرٍيِّ مَعْذِرَةً مِنِّي إِلَيْكَ وَلَوْ أَنْصَفْتَ لَمْ تَلُــــمِ
Aduhai, apakah karena kau rindu
pada tetangga di kampung Dzi Salam
Air bening menetes satu-satu
Dari sudut matamu
Bercampur darah
Ataukah karena semilir angin
yang berhembus
dari Kadhimah
Dan kilatan cahaya
dalam pekat malam
Apakah kekasih mengira
Api cinta yang membara di dada
Dapat dipadamkan air mata?
Andai bukan karena cinta
Puing-puing tak mungkin basah airmata
Andai bukan karena cinta
Matamu tak mungkin jaga sepanjang malam
Membayangkan keindahan gunung gemunung
Dan semerbak pohon kesturi
Dan tinggi semampai pohon pinus
Mana mungkin kau ingkari cintamu
Padahal ada saksi menyertaimu
Ketika air matamu berderai-derai
Dan kau jatuh sakit begitu memelas
Dukamu menggoreskan
Tetes air mata dan luka
Bagai mawar kuning dan merah
Pada dua pipimu yang ranum
Ya, aku melihat kekasihku
Berjalan ketika malam muram
Hingga mataku selalu terjaga
Cinta telah mengganti riang jadi nestapa
Seluruh do’a, dzikir dan shalawat
atas Nabi ditujukan kepada Allah, hanya kepada Dia, tidak kepada yang
lain, termasuk tidak kepada Nabi Muhammad Saw. Karena hanya Dialah
Pemilik segala, hanya Dialah Penguasa atas semesta raya dan hanya Dialah
Yang mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya.
Dialah
Titik Pusat dari segala. Pengaduan kepada manusia, siapapun dia, akan
kegundahan dan curahan hati karena kemelut hidup yang acap kali datang
menghempaskan jiwa dan pikiran, seringkali mengecewakan. Mereka tak
mampu memberi jalan terang, dan tak bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan
yang terus dan terus mengalir bagai air yang sangat deras. Mereka
acapkali juga sibuk dengan urusan dan kegalauannya sendiri-sendiri.
Mereka juga membutuhkan kepentingan hidup yang juga terus mengejar
mereka siang dan malam. Tetapi tidak bagi Tuhan. Dia tidak membutuhkan
apa-apa dan siapa-siapa. Sebaliknya Dialah Yang selalu Memberi. Dia
bahkan amat senang jika hamba-hamba-Nya meminta.
Gus Dur pastilah
sangat mengenal bait-bait puisi Burdah al-Bushiri di atas, bahkan
sebagian atau semuanya mungkin dihapal dengan baik. Saya meyakini hal
itu pada Gus Dur, karena kedua Qasidah Burdah di atas amat popular di
kalangan para santri.
Mereka menghapalnya lalu mendendangkannya
dengan nada-nada lagu yang indah dalam acara-acara yang relevan. Hal
yang sama juga dilakukan mereka dalam Burdah Madaih atau Na’tiyah, karya
Ka’ab bin Zuhair. Burdah ini berisi penghormatan dan pujian kepada
Nabi. Ia dikenal dengan Qasidah “Banat Su’ad” (putri-putri Su’ad). Ini
karena Qasidah Burdah yang terdiri dari 58 bait ini diawali dengan
kalimat :
بانتْ سُعادُ فقلبي اليومَ متبولُ ... مُتيمٌ إثرها، لْم يُفدَ مكبُولُ
Ka'ab
Bin Zuhair, adalah seorang penyair terkenal pada masanya. Ia suka
sekali mencacimaki Nabi. Sikap itu membuat hidupnya jadi galau. Ia lalu
menemui Nabi dan menyanyikan kasidah tersebut di hadapan beliau. Nabi
begitu senang mendengarnya, lalu memberinya selendang (burdah) yang
sedang dikenakannya. Kiai Sa’id Aqil Siraj, ketua umum PBNU, sering
menyanyikan puisi-puisi ini manakala memberikan pengajian umum di
berbagai pesantren dan pada komunitas warganya: Nahdlatul Ulama. Ia
hapal di luar kepala kedua qasidah burdah itu.
Sebagian orang,
sebut saja antara lain kelompok Wahabi di Saudi Arabia, menyebut
“tawassul” dengan salawat seperti ini sebagai praktik kemusyrikan
(menyekutukan Tuhan). Tawassul, menurut mereka berarti meminta kepada
manusia, meskipun ia seorang Nabi dan kekasih-Nya, bukan kepada Tuhan.
Kita telah maklum Wahabi adalah kelompok tekstualis. Mereka memaknai
segala teks secara harfiyah, dan tidak setuju dengan pemaknaan metaforis
(majaz) dan aforisme-aforisme sufistik. Biarkan saja, tak mengapa. Itu
hak mereka. Dan itu menunjukkan batas pengetahuan mereka. Tetapi kita
tentu amat menyesalkan bila kemudian mereka memaksakan pandangannya
kepada orang lain, melalui cara-cara kekerasan, “hate speech” atau bahkan dengan menghunuskan pedang atau meledakkan bom.
Tawassul
dan do’a-do’a Gus Dur itu kini telah menyebar di mana-mana, dikasetkan ,
di CD kan, di Youtube kan, atau disimpan di HP, diputar berulang-ulang,
didengarkan dengan penuh khusyu’ di kendaraan-kendaraan pribadi, dan
dilantunkan para pengagumnya di berbagai kesempatan menghormat atau
mendiskusikan Gus Dur. Beliau menyanyikannya dengan nada-nada elegi dini
yang sendu, bagai sembilu yang menyayat-nyayat qalbu. Bait-bait do’a,
salawat dan tawasul yang disenandungkan Gus Dur itu sesungguhnya
tidaklah asing bagi para santri. Ia telah berabad ditembangkan di
pesantren-pesantren dan surau-surau. Suara Gus Dur memang tak semerdu
suara Hadad Alwi atau Abdul Halim Hafiz, penyanyi kondang dari Mesir
atau lainnya. Tetapi lantunan Gus Dur, meski bersahaja, terasa memiliki
makna keindahan mitis dan magis yang menghunjam qalbu dan menyimpan
rindu-rindu. Ini tentu karena Gus Dur melantunkannya dengan suara
hatinya yang bening dan ketulusan cintanya yang penuh.
Di bawah
ini adalah doa-doa yang selalu dibaca Gus Dur di samping do’a-do’a yang
lain. Semua orang pesantren dan kaum Nahdliyyin mungkin sudah tahu atau
bahkan hapal doa-doa itu. Doa-doa ini seluruhnya mengandung permohonan
ampunan Tuhan. Do’a pertobatan yang secara literal berarti kembali
kepada Tuhan. Ada juga di dalamnya yang memohon petunjuk ke arah jalan
lurus (amal saleh) dan anugerah ilmu yang bermanfaat. Sebagian ada yang
diawali dengan tawassul melalui Al-Musthafa, Nabi Muhammad Saw. Doa yang
terakhir konon ditulis oleh Abu Nawas, sang cendikiawan dan sastrawan
terkemuka yang jenaka tetapi amat cerdas itu. Hampir semua orang
mengenal cerita-cerita jenaka orang ini dan mendongengkannya kepada
anak-anak mereka, terutama menjelang tidur. Ia, ketika muda, konon,
pernah menjalani kehidupan glamor, mabuk dan urakan, tetapi cara itu
kemudian disadarinya akan mencelakakannya kelak. Tahun-tahun terakhir
hidupnya Abu Nawas bertobat dan menjalani hidupnya sebagai seorang
zahid, asketik.
Dengan doa-doa itu, kita tentu paham bahwa Gus
Dur selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Para Nabi, orang-orang arif, kaum
sufi dan orang-orang yang rendah hati setiap hari mohon ampunan-Nya,
ratusan dan ribuan kali.
Doa Pertobatan 1
مَوْلاَىَ صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا اَبَدًا
عَلَى حَبِيْبِكَ خَيْرَ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا
وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتْهُ
لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْاَهْوَالِ مُقْتَحِمِ
Wahai Tuhanku,
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya
Berkat al Musthafa, sampaikan maksud-maksudku
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Al-Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak
Do’a Pertobatan 2
إِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِى
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ اْلعَظِيْمِ
ذُنُوْبِى مِثْلُ عْدَادِ الرَّمَالِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً يَا ذَالْجَلاَ لِ
وَعُمْرِى نَاقِصٌ فِى كُلِّ يَوْمٍ
وَذَنْبِى زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِى
إِلَهِى عَبْدُ كَ اْلعَاصِىِى أَتَاكَ
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَا كَ
وَاِنْ تَغْفِرْ فَأَ نْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ
وَاِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar
Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung
Umurku berkurang setiap hari
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggungnya
Wahai Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu
Bila Engkau mengampuniku
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap
Do’a (3)
Pertobatan, Amal saleh dan Ilmu Yang bermanfaat
أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا
Aku mohon ampunan Tuhan
Dari segala kesalahan
Aku mohon ampunan Tuhan
Tuhan seluruh ciptaan-Nya
Tunjuki aku kerja yang baik
Tuhanku,
Tambahi aku pengetahuan yang berguna
Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini :
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً . إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Wahai
Tuhan kami! Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan tuntunlah kami
pada jalan keselamatan.” (Q.S. al-Kahfi, [18]:10) dan diakhiri dengan
do’a paling popular:
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai
Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di
akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka”.(Q.S. Al-Baqarah,
[2]:201).
_____________
Husein Muhammad,
Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, Jawa Barat