Setiap komunikasi yang kita jalin, baik verbal maupun nonverbal, sebenarnya bertujuan untuk mempertahankan diri kita dari tekanan hidup yang kita hadapi dalam keseharian. Dalam hal ini, kita semua hendaknya mampu menolong diri kita untuk menyadari bahwa dalam kehidupan ini kita terbelenggu oleh kerangka acuan komunikasi yang kita alami pada masa lalu.
Tentu saja risiko usaha keluar dari kondisi keterpakuan terhadap masa lalu itu tidak sederhana. Padahal, pada umumnya kita lebih memilih tetap bertahan dalam keterbelengguan tatanan hidup masa lalu demi rasa aman dan nyaman, karena keputusan yang kita ambil berdasar pada ketergantungan kita pada lingkungan tempat kita berada.
Bayangkan bahwa selama ini sebenarnya, tanpa kita sadari, kita kehilangan kebebasan berekspresi secara lugas, karena sistem komunikasi dari pengalaman masa lalu tidak membuka kelugasan individu dalam mempertahankan eksistensi diri di lingkungan di mana pun dia berada, demi menjaga harmoni keberadaan dalam kebersamaan dengan lingkungan: ”Dengar nasihat orangtua, atau harus nurut sama mamah, kalau tidak nurut, berdosa dan tidak berkah hidupnya, lihat tuh, kakak nurut sama mamah, berhasil kan kuliahnya, dll, dll.”
Pada umumnya lingkungan berpendapat bahwa menyatakan dengan terus terang apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan akan membuat kita berada dalam keadaan yang rentan. Padahal, dalam hal ini secara tidak disadari, demi harmoni lingkunganlah yang justru membuat diri kita menjadi tidak memiliki kemampuan mengungkapkan apa yang sebenarnya kita rasakan dan apa yang kita pikirkan secara terbuka dan lugas. Ternyata, kondisi tersebut justru membuat kita menjadi seseorang yang ”sehat” (artinya, sehat yang semu dan rentan terhadap kemungkinan ”sakit” secara emosional).
Jalan pintas
Suatu saat kita menyadari bahwa secara tiba-tiba kita merasakan munculnya kebutuhan untuk penyelesaian masalah segera, yang akhirnya membuat sebagian dari anggota masyarakat lingkungan kita justru memilih jalan pintas yang lain sifatnya dan berlawanan dengan kebiasaan yang telah terpola sejak masa kecil kita. Saat sebagian anggota masyarakat kita memilih penggunaan obat-obatan, narkoba, alkohol, penyakit yang muncul dan berbagai perilaku kriminal yang memungkinkan mereka dipenjara akhirnya menjadi pilihan cara penyelesaian masalah yang bersifat disfungsional.
Cara penyelesaian masalah yang disfungsional tersebut juga menjadi salah satu cara mereka untuk memperoleh perhatian dari lingkungannya, di samping menjadi cara perolehan pemuasan kebutuhan yang sifatnya semu, bahkan menjerumuskan mereka dalam keadaan terpuruk. Malangnya, ketidakmampuan kita untuk mengekspresikan perasaan pada lingkungan secara jujur dan lugas ternyata menjadi sumber penyebab keterpurukan pada masa mendatang.
Manusia cenderung untuk selalu mempertahankan harmoni fungsi fisik dan mentalnya walaupun dalam proses pencapaian keseimbangan tersebut akan membuat sebagian fungsi mental harus menurun, sementara bagian lain meningkat dengan sendirinya. Hal itu berarti bahwa terjadi proses kebangkitan aspek mental yang menempatkan diri sebagai sosok yang memiliki kemampuan diri dalam ”ekspresi diri” dan bagian lain yang menempatkan pada ”represi diri”, dengan catatan ekspresi diri yang lugas dan tepercaya bergerak menuju jalan teraihnya kondisi sehat mental yang hakiki.
Memang upaya meraih harmoni ini diawali oleh konflik antara ”ikut aturan dan tampil jujur dan lugas dalam perasaan dan pikiran”, ”seyogianya dan seharusnya”. Padahal, merasakan apa yang kita rasakan adalah suatu kebebasan berperasaan yang akan mendukung kita untuk juga memperoleh kebebasan dalam berpikir.
Jenis kebebasan
Dalam hal ini, Virginia Satir (1991) mengungkapkan terdapat lima jenis kebebasan yang membuka peluang bagi kemungkinan kita memanfaatkan potensi positif yang akan membantu kita untuk menyelesaikan masalah dengan cara kreatif:
1. Kebebasan untuk melihat dan mendengar apa yang saat ini terjadi, sebagai pengganti dari apa yang seharusnya dan apa yang seyogianya kita lihat dan dengar.
2. Kebebasan untuk menyatakan apa yang kita rasakan dan pikirkan, sebagai pengganti dari apa yang seyogianya kita rasakan dan pikirkan.
3. Kebebasan untuk merasakan apa yang kita rasakan, sebagai pengganti dari apa yang seyogianya kita rasakan.
4. Kebebasan untuk bertanya apa yang ingin kita tanyakan, sebagai pengganti kebiasaan menunggu izin untuk bertanya.
5. Kebebasan untuk menanggung risiko akibat perbuatan kita, sebagai pengganti dari selalu memilih zona aman tanpa berani bersikap mandiri.
Jadi, keterpakuan terhadap pengalaman masa lalu akan membuat kita mendapat keyakinan, otomatisasi, dan kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya kompulsif. Kita harus membuat diri kita menyadari bahwa selama ini kita terpaku pada keberadaan mempertahankan zona kehidupan yang aman, di mana kita justru menjadi pilot otomatik dari masa lalu kita. Padahal, menanggung risiko sebagai akibat keputusan pribadi akan membuat diri kita akan menghayati perasaan yang lebih nyaman dan meyakinkan dalam proses membangun kebebasan berekspresi. Dengan demikian, serta-merta rasa percaya diri kita akan sekaligus terbangun dengan kokoh.
Kepercayaan diri yang optimal dan kokoh tersebut akan membawa diri kita mampu bangkit dari keterpurukan karena kita yakin bahwa pada dasarnya kita memiliki potensi mental individual yang positif dan memerlukan peluang kebebasan untuk mengekspresikannya.
No comments:
Post a Comment