Friday, August 2, 2013

MENGENAL HAKIKAT KEMUNAFIKAN MENJAUHI PENYAKIT HATI



Secara kebahasaan perkataan nifâq dalam kosa kata Al-Qur`an, yang dalam bahasa Indonesia lazim disebut kemunafikan, berasal dari kata kerja nafaqa yang terdiri atas tiga huruf akar yakni n-f-q. Sementara itu, di dalam Kamus Istilah Al-Qur`an, Mu’jam Mufradât Alfâdh Al-Qur`ân, Al-Râghib al-Ashfahânî menyebutkan bahwa perkataan nafaqa, yang menjadi akar kata nifâq dan kemunafikan, berarti madhâ yakni melintas dan nafidza yang berarti melaksanakan. Dari perkataan nafaqa terbentuklah perkataan infâq yang berarti menyalurkan, menggunakan, dan mengalokasikan harta, tenaga, dan waktu.

Sementara itu, istilah munâfiq terbentuk dari perkataan nafaqa dengan memanjangkan huruf na sehingga menjadi nâfaqa, yang menurut Al-Râghib al-Ashfahânî, berarti memasuki agama pada satu pintu kemudian segera keluar dari pintu yang lain. Oleh sebab itu dari penjelasan kebahasaan tersebut, tergambarlah bahwa hakikat kemunafikan terletak pada qalbu yang memiliki ruang tembus sehingga keberagamaan itu melintas sedemikian rupa tanpa pernah singgah, meresap, dan mengendap pada jiwa.

Dapat pula ditambahkan bahwa perkataan nâfaqa yang menjadi akar perkataan munâfiqberarti juga menggali lubang di dalam hati untuk menyembunyikan sesuatu sehingga tertutup rapat. Oleh sebab itu, seorang yang memiliki sifat dan karakter nifâq atau kemunafikan memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyembunyikan kebenciannya kepada Islam, seraya menyatakan diri sebagai seorang Muslim sehingga berbeda apa yang diungkapkan secara lisan dan apa yang tersimpan di dalam kalbu.

Berbagai Paparan Al-Qur`an tentang Nifâq atau Kemunafikan

Pada Surat Al-Baqarah ayat 8-20 digambarkan sedemikan rupa tentang sifat dan karakter orang-orang munafik yang dapat diringkaskan sebagai yang berikut:

Pertama, menyatakan beriman kepada Allah padahal kenyataannya tidak beriman sebagaimana tersurat pada ayat Al-Qur`an yang berikut:

Dan di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman (Q.S. al-Baqarah/2: 8).

Jadi, kita benar-benar harus menjaga kualitas iman kita agar tidak tercemari oleh sifat dan karakter kemunafikan. Rasulullah SAW mengingatkan umat tentang tanda-tanda orang munafik agar kita bisa menghindarinya dengan konsisten.

Sabda beliau: Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ada empat sifat, siapa di antara kamu yang memiliki keempat sifat tersebut, maka ia benar-benar orang munafik. Dan barangsiapa di antara kamu memiliki salah satu dari keempat sifat tersebut, maka ia memiliki tanda kemunafikan hingga ia meninggalkannya. Apabila diberi kepercayaan berkhianat; apabila berbicara berdusta; apabila berjanji tidak ditepati; dan apabila bertengkar bertindak tidak manusiawi” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, kemunafikan itu dimaksudkan untuk menipu Allah dan menipu orang-orang beriman sebagaimana tersurat pada ayat Al-Qur`an yang berikut:

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari (Q.S. al-Baqarah/2: 9). Dengan kemampuan menyembunyikan rahasia di dalam kalbunya, orang-orang munafik merasa bangga bahwa mereka memiliki kemampuan menipu Allah, menipu Rasulullah SAW. Dan menipu orang-orang beriman sehingga Rasulullah SAW dan para sahabat untuk sementara waktu terkecoh oleh sifat dan karakter mereka yang sangat lihai menyembunyikan kebusukannya. Allah segera memberitahukan keadaan mereka yang sebenarnya sebagaimana disebutkan pada ayat Al-Qur`an yang berikut:

“Dan di antara orang-orang Arab Badui yang (tinggal) di sekitarmu, ada orang-orang munafik. Dan di antara penduduk Madinah (ada juga orang-orang munafik), mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali, kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar”. (Q.S. Al-Taubah/9: 101).

Ketiga,  kalbu orang-orang munafik itu mengidap penyakit hati (amrâdh al-qulûb) yang akut, dan hanya pada kalbu yang sakit itulah kemunafikan tumbuh subur (Q.S. al-Baqarah/2: 10).

Keempat, orang-orang munafik itu menganggap dirinya sehat secara mental dan selalu berbuat kebaikan, padahal kenyataannya perbuatan orang-orang munafik itu merusak lingkungan hidup, merusak sistem sosial, dan menghancurkan negara. Apabila diingatkan supaya sadar dan berhenti, orang-orang munafik itu akan menolak dikatakan merusak, karena menilai dirinya berbuat kebaikan (Q.S. al-Baqarah/2: 11-12).

Kelima, orang-orang munafik itu memiliki sifat dan karakter seperti musang berbulu ayam. Apabila berada di tengah-tengah komunitas ayam, musang itu memperlihatkan dirinya berbulu ayam. Tujuannya tiada lain adalah untuk mempermainkan komunitas ayam dan menerkam ayam secara diam-diam (Q.S. al-Baqarah/2: 14-15).

Keenam, karakter dan sifat orang munafik itu seperti orang yang menukar iman dengan kesesatan. Iman yang ada pada dirinya dilepas dan kesesatan yang ada pada diri orang kafir diambil. Bisnis ini sebenarnya adalah bisnis yang bodoh sehingga tidak mendatangkan keuntungan sama sekali bagi kehidupan mereka di akhirat.

Ketujuh, orang-orang munafik itu ibarat orang yang menyalakan api pada waktu berjalan di tengah malam yang gelap gulita. Ketika api itu menyala, mereka terhempas ke tempat yang gelap. Lalu mereka berjalan dalam keadaan tuli, bisu, dan buta, sehingga mereka tidak bisa kembali kepada kebenaran. (Q.S. al-Baqarah/2: 17-18).

Kedelapan, orang-orang munafik dapat diibaratkan dengan orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit yang disertai kegelapan, petir dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu, dan apabila gelap menerpa mereka, mereka berhenti. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia hilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah/2: 19-20).

Orang munafik itu berjalan dalam keadaan bahaya, karena terputus dari cahaya Allah. Hidup mereka sebenarnya bagaikan orang buta yang berjalan meraba-raba di tengah kegelapan malam. Hati mereka yang buta, bukan mata mereka. Iman tercabut dari hati mereka. Padahal iman itu memberikan arah atau orientasi dalam perjalanan hidup manusia; menyinari perjalanan dengan cahaya Allah, sekaligus menggerakkan hati orang beriman untuk melangkah pasti dalam perjalanan dengan ilmu dan amal saleh. Iman pun menjadikan perjalanan hidup seseorang menjadi stabil di kala susah dan di  kala senang tetap mantap dalam pengabdian yang tulus kepada Allah.

No comments:

Post a Comment