Friday, August 2, 2013

Ramadhan Dalam Kenestapaan


Umat Islam Indonesia menapaki Ramadhan tahun ini dalam belitan masalah ekonomi rumah tangga. Lonjakan harga barang kebutuhan pokok harian mengiringi penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) secara drastis oleh pemerintah. Pada awal Ramadhan, harga cabe rawit di pasaran mencapai Rp100.000-Rp120.000/kg setara dengan harga daging sapi. Padahal di sisi lain pendapatan mayoritas masyarakat tak mengalami peningkatan. Kekisruhan penyaluran dana BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat) yang nominalnya tak seberapa ikut hadir dalam rangkaian permasalahan ini.

Bulan Ramadhan diyakini oleh segenap pemeluk Islam sebagai bulan kudus nan sakral. Bulan di mana makan, minum, dan pelampiasan seksual pada siang hari diharamkan atas seluruh muslim yang berkewajiban serta mampu menjalankannya tanpa pandang identitas kelamin, ras, dan etnisnya, kecuali jika ada aral yang dizinkan. Ritus simbolis ini mendidik umat untuk mengendalikan dan mengelola nafsu biologis kemanusiaannya. Pemenuhan kebutuhan dasar itu hanya boleh dilakukan di malam hari.

Substansi puasa adalah pembelajaran kepada manusia bahwa ketiga rutinitas biologis di atas merupakan aktivitas primer yang mesti diatur secara tepat agar tidak melampaui dimensi kemanusiaan yang bertengger pada setiap orang. Karena demi pemenuhannya sesseorang kerap menghalalkan segala upaya sehingga tak jarang memicu kompetisi sosial yang tidak fair menjurus konflik dan kemudaratan lain. Manusia yang dikaruniai akal dan nafsu bisa terjerembab pada kehinaan setara binatang jika tak kuasa mengelola tiga hasrat tersebut.

Mengapa penahanan ketiganya mesti di siang hari, waktu ketika manusia termasgulkan pada pekerjaan-pekerjaan duniawinya? Ali Al-Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’ Wa Falsafatuhu (1994: 150) menuturkan, hadits Rasul yang mengafirmasikan bahwa sebaik-baik ibadah kepada Sang Khaliq ialah yang terberat perjuangan praksisnya, merupakan justifikasi normatif sekaligus jawaban atas pertanyaan remeh tersebut.

Mayoritas manusia bekerja keras di siang hari kala terik matahari menyengat sehingga tubuh perlu asupan untuk reproduksi energi. Namun Islam justru melarangnya di bulan Ramadan dan baru menghalalkannya pasca mentari terbenam. Puasa tidak diwajibkan saat sebagian besar orang terlelap dalam peristirahatan. Hal ini mengindikasikan, motif puasa tidak berhenti pada pengendalian hasrat, lebih dari itu sebagai ujian etos hidup manusia dan dorongan untuk berjuang mengarungi hidup kendati aral senantiasa melintang.

Puasa dilakukan secara serentak sebagai wujud realisasi janji Tuhan bahwa manusia cuma dibedakan oleh aspek esoteris masing-masing personal yang sukar ditentukan parameternya yaitu ketakwaan kepada Tuhan (Qs. Al-Hujurot: 13). Kendati para penceramah (khatib) shalat Jum’at lazim mendefinisikan takwa dengan mengerjakan segala amal yang diperintahkan Tuhan dan meninggalkan larangan-Nya dalam situasi apa pun, namun siapa yang bisa menentukan standar penilaian untuk mengetahui kualitas ketakwaan individu? Maka dalam hemat saya hal ini mutlak menjadi hak prerogatif Tuhan.

Etos Puasa

Semua motivasi yang terkandung dalam puasa menjadi tidak berarti ketika pelakunya justru tidak bisa menangkap dan memahaminya. Tilik saja betapa konsumtifnya sebagian masyarakat menjelang mahgrib tiba. Bahkan mungkin lebih konsumtif dari hari-hari selain puasa. Puasa yang semestinya menjadi ruang kontemplasi akan gagal dan mandul bila tidak bermuara pada sesuatu yang dikehendaki dari pelaksanaan puasa; efisiensi dan efektivitas pemenuhan tiga hajat primer; peningkatan etos atau semangat hidup; dan tumbuhnya sensitivitas sosial sebagai bentuk pengakuan kesetaraan harkat manusia di hadapan Tuhan.

Di sini puasa mengombinasikan dua strategi yang ditelurkan oleh ahli sosiologi humanis dan strukturalis. Jika kaum humanis mengemukakan, faktor utama kemiskinan seseorang adalah etos kerja yang lemah, bermazhab fatalis dalam teologi, atau karena faktor alam, maka suntikan motivasi moral serta material merupakan keniscayaan.

Kasus di Eropa yang diuraikan oleh Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930) menunjukkan, motivasi kerja yang tinggi untuk memupuk harta benda dari penganut protestantisme asketis, terutama kaum calvinis, justru disulut oleh doktrin teologis yang menegaskan bahwa keberhasilan dalam usaha (bisnis) merupakan indikator akan keselamatan mereka di alam akhirat kelak. Konon, berpijak dari model keimanan itulah mobil berlabel Ford mampu diproduksi masal dan berkembang pesat di pasar internasional.

Sementara bagi kalangan strukturalis, ketimpangan akses ekonomi antarkelas masyarakat merupakan penyebab utama kemiskinan. Kebijakan pemerintah yang tidak memiliki keberpihakan menjadikan lapisan masyarakat bawah tersisih dari percaturan pasar usaha. Ada ketidakadilan sosial yang menyeruak karena eksploitasi sistem ekonomi neoliberal yang dianut pemerintah. Karenanya, solusi yang perlu dilakukan adalah perlawanan.

Dalam konteks lonjakan drastis harga Sembako, disinyalir kuat hal ini lantaran ulah para tengkulak yang memborong sembako dari petani dengan harga murah untuk ditimbun dan mafia impor untuk memuluskan jalan impor ke Indonesia. Karena dengan adanya impor, mereka menuai komisi yang cukup besar. Dan pejabat negeri ini kerap takluk saat berhadapan dengan tengkulak dan mafia impor. Bahkan sebagian justru bekerjasama karena menguntungkan secara pribadi. Tentu perbuatan demikian harus “dilawan”. Perlawanan tak harus selalu disandingkan dengan kekerasan. Optimalisasi kontrol, kritik, dan pengawasan terhadap para pejabat terkait dengan diringi pemberdayaan sektor ekonomi mandiri secara swadaya dalam komunitas-komunitas kecil, saya kira akan memberikan manfaat signifikan. Dan puasa menghadirkan semangat tersebut.

Di sinilah letak puasa Ramadhan sebagai ruang kontemplasi untuk aksi setiap umat Islam yang menjalankannya. Jika puasa justru memicu turunnya produktivitas, dan sebaliknya memacu konsumtivitas serta gagal menumbuh kembangkan kepedulian sosial,  Ramadhan menjadi hampa makna, sekadar ritual tahunan yang disakralkan, momentum pertobatan semu kelompok selebritas, ajang publikasi spiritualitas diri, hingga akhirnya tereduksi menjadi pengguguran kewajiban an sich.

No comments:

Post a Comment