tunjukilah kami jalan yang lurus,(yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat. (QS.Al-Fatihah;6-7)
Ayat ini menyimpulkan makna dari seluruh kehidupan kita. Hidup dalam rangkaian perjalanan yang harus dilewati. Perjalanan pertama telah kita tempuh, yaitu perjalanan dari Allah. Dahulu, kita berangkat meninggalkan Tuhan untuk datang ke dunia ini. Perjalanan kedua yang sedang dan akan kita lalui adalah perjalanan kembali; meninggalkan dunia menuju Allah swt. Karena itulah, dalam ayat di atas, Allah swt mengulangi kata shirath (jalan) sebanyak dua kali: ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim…
Ajaran nasrani mengenal konsep kejatuhan. Setiap manusia telah jatuh dari rahmat Tuhan dan ia kemudian harus mencari cara untuk kembali naik kepada-nya. Islam tidak menyebut keadaan itu sebagai kejatuhan, melainkan sebagai salah satu bagian dari perjalanan manusia. kita telah pergi meninggalkan Allah swt untuk datang ke dunia ini. Perjalanan selanjutnya adalah ketika kita dipanggil untuk kembali kepada-nya.
Jalaluddin Rumi mengibaratkan manusia sebagai bilah-bilah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Dalam perjalanannya kemudian, setiap kali ditiup, seruling itu akan melantunkan nyanyian kedukaan. Ia rindu untuk kembali ke rumpun bambunya. Dahulu kita bergabung dengan Allah swt dalam rumpun bambunya dan sekarang kita terpisah jauh dari-nya.
Perjalanan pertama yang telah kita lewati adalah jalan meninggalkan Tuhan menuju dunia. Jalan itu dilalui dengan mudah. Tak banyak hambatan dan gangguan di dalamnya Karena jalan itu dipersiapkan Tuhan untuk kita. Tuhan mengirim kita untuk menempuh perjalanan pertama tersebut. Sekarang kita tengah menemph perjalanan selanjutnya; kembali menuju dia. Inilah perjalanan yang berat, dihalangi dengan berbagai rintangan dan cobaan.
Dalam perjalanan pertama, kita tidak dapat memilih. Kita dikirim Tuhan ke dunia tanpa pernah diajak berunding terlebih dulu. Sedangkan dalam perjalanan kedua, kita diberi kebebasan untuk memilih. Kita boleh menempuh perjalanan menuju Tuhan atau tidak menuju Tuhan.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa disamping jalan menuju Allah, terdapat juga jalan menuju neraka jahim atau jalan menuju setan. Tuhan memberikan kita dua jalan: Dan kami telah menunjukkan kepada manusia dua jalan. (QS. Al-Balad;10).
Jalan yang satu adalah jalan yang sangat berat. Al-Quran menyebutnya sebagai Al-‘aqabah, jalan yang terjal: maka tidaklah sebaiknya manusia menempuh jalan yang terjal. (QS. Al-Balad;11) inilah jalan menuju Tuhan. Inilah jalan yang Allah anugerahkan kenikmatan kepada mereka-shirathalladzina an’amta ‘alaihim.jalan yang satunya lagi adalah jalan menuju neraka jahanam. Jalan neraka ini terbagi lagi ke dalam dua bagian; jalan yang dimurkai Tuhan (al-maghdlubi ‘alaihim) dan jalan yang tersesat (al-dhallin).
Dalam ayat 6-7 surat Al-Fatihah, Al-Quran menisbahkan jalan yang dianugerahi kenikmatan kepada Allah sebagai pemberi anugerah. Sementara untuk jalan yang dimurkai dan sesat, Al-Quran tidak menisbahkan siapa yang memurkai atau menyesatkan. Dalam Al-Quran, ketika Allah menyebut berbagai kebaikan, ia menisbahkan kebaikan itu kepada diri-nya. Tetapi jika Allah menyebutkan bermacam keburukan, ia menisbahkan keburukan itu kepada manusia.
Salah satu adab dalam islam adalah menisbahkan kebaikan kepada Allah dan keburukan kepada kita.salah satu contoh ketidak-beradaban setan adalah ketika dia menisbahkan yang buruk juga kepada Allah. Ketika setan diusir dari surga, ia berkata: ya Tuhanku, oleh sebab engkau sesatkan aku, pasti aku akan menghias keburukan di muka bumi dan pasti aku akan menyesatkan manusia selamanya.(QS. Al-Hijr; 39-40) iblis menisbahkan kesesatan dirinya kepada Tuhan.
Orang-orang saleh sepanjang zaman mengikuti adab Al-Quran dengan menisbahkan kebaikan kepada Tuhan dan keburukan kepada mereka sendiri. Ketika ditimpa penyakit yang tak kunjung terobati, Nabi ayyub as berdoa: ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan engkau adalah Tuhan yang maha penyayang di antara semua penyayang. (QS. Al-Anbiya83). Nabi ayyub as tidak mau mengataka bahwa Tuhan yang telah menjatuhkan penyakit kepadanya. Begitu pula dengan nabi adam as ketika ia berdoa: Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-Araf; 23)
Allah memberikan contoh adab berdoa itu dalam surat Al-Fatihah. Ketika menyebut jalan yang dianugerahi kenikmatan, Allah menisbahkan jalan itu pada dirinya. Sementara untuk jalan yang dimurkai dan sesat, Allah tidak menyebutkan siapa yang memurkai dan menyesatkan itu. Menurut sebagian ahli tafsir, kenikmatan khusus datang dari Allah. Dialah yang member nikmat kepada kita.
Kalau ada di antara selain Allah yang memberikan kita nikmat, itu hanyalah perantara yang melalui mereka Allah mengalirkan nikmat-nya. Nabi saw bersabda: “berterima kasihlah kamu kepada Allah dan kepada orang yang melalui mereka Tuhan mengalirkan nikmat-Nya kepadamu.” Kita diperintahkan untuk berterima kasih kepada orang tua karena melalui orang tua Allah mengalirkan nikmat kehidupan kepada kita. Kita berterima kasih kepada guru, karena melalui guru Allah memberikan nikmat ilmu kepada kita. Kenikmatan selalu dinisbahkan kepada Allah karena dialah satu-satunya sumber kenikmatan.
Ini juga yang diamalkan oleh para sufi. Pada satu saat, pernah hidup seorang sufi yang terkenal amat dermawan. Ia selalu membagikan rezeki yang ia miliki. Ketika banyak orang memuji kemurah-hatinya, sang sufi hanya menjawab, “ aku hanyalah ceret yang mengalirkan air ke cawan-cawan kalian. Pujilah dia yang memasukan air ke dalam ceretku.”
Sedangkan jalan yang dimurkai dan sesat, tidak dinisbahkan kepada Allah swt karena jalan itu diambil berdasarkan pilihan manusia. Manusia sendiri yang mengambil jalan yang dimurkai itu. Bukankah ketika kita menempuh perjalanan itu, kita dihadapkan pada beberapa pilihan jalan ? kita sendiri yang memutuskan jalan mana yang akan kita tempuh.
Setiap saat, Tuhan memanggil kita, mengingatkan kita yang sedang berjalan menempuh perjalanan ini untuk kembali pada-Nya. Seringkali kita bingung dalam menapaki setiap persimpangan. Karena itulah kita mohon pertolongan dari Allah: tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan buka (jalan) mereka yang sesat.
Al-Quran mengarahkan kita untuk berjalan di jalan yang lurus menuju Tuhan. Ketika kita ditanya arah tujuan kita, kita harus menjawab dengan ucapan Ibrahim as: sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan dia akan memberi petunjuk kepadaku”(QS. Al-shaffat;99) di antara nasihat-nasihat Al-Quran kepada kita yang menempuh perjalanan ialah ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kepada-Kullah kembalimu, maka Kubertakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman;15)
Perjalanan manusia menuju Allah swt adalah perjalanan kesucian. Ketika kita berjalan menuju-nya, sesungguhnya kita tengah menjadi diri yang lebih suci. Di tempat tujuan akhir itu, kita akan disambut para malaikat surgawi dengan ucapan “kalian telah suci dan bersih.” Sepanjang perjalanan menuju Tuhan, kita melakukan proses pembersihan diri, self purification.
Kita adalah butiran-butiran emas yang terpendam dalam pasir. Proses pensucian diri dari dosa adalah seperti proses pengolahan batu mulia, didahului dengan rangkaian pembersihan emas dari kotoran yang menutupinya sehingga emas itu berkilau penuh cahaya. Sesungguhnya manusia adalah butiran emas yang datang dari Allah dalam fitrah kesucian. Ketika hendak kembali kepada Allah, kita sudah tercampur dengan bermacam kotoran.
Proses pembersihan diri itu dapat dilakukan melalui berbagai hal. pertama adalah dengan membaca istighfar. Kita memohonkan ampunan kepada Allah Yang Maha Besar dari segala dosa yang telah kita lakukan. Kedua adalah dengan bertaubat. Melalui taubat, kita memutuskan untuk kembali kepada Allah dengan menanggalkan kehidupan kita yang lama. Kita memilih untuk lahir kembali sebagai manusia yang baru dan melepaskan diri yang telah tercemari dosa. Taubat lebih luas dari istighfar. Dengan taubat, kita bermetamorfosa seperti kupu-kupu yang meninggalkan kepompongnya dan terbang dengan sayap indahnya yang baru tumbuh. Pensucian diri yang ketiga adalah dengan melakukan amal salih. Semakin banyak beramal salih, semakin banyak pula bagian diri kita yang disucikan. Dengan bersedekah, misalnya, kita dibersihkan dari egoism atau keakuan. Dengan bersedekah kita melakukan sharing; berbagai kebahagian bersama orang lain.
Semoga kita menjadi para penempuh jalan kesucian dalam perjalanan pulang menuju Tuhan Sang Maha Penyayang…
No comments:
Post a Comment