Friday, April 27, 2012

Penyakit Hati Dan Obat Penawarnya


Banyak yang mengira bahwa penyakit jiwa adalah bagian dari penyakit hati. Ada juga yang mengira bahwa penyakit hati itu adalah penyakit jiwa. Padahal sesungguhnya keduanya tidak sama. Karena berbeda jalur dan wilayahnya masing-masing. Kalau penyakit jiwa pada umumnya disebabkan oleh stressor-stressor lingkungan yang tak teratasi. Atau oleh satu gangguan keseimbangan neurotransmiter di pusat-pusat otak, atau secara genetic, atau karena daya adaptasi yang rendah. Tetapi penyakit hati tidak disebabkan oleh itu semua. Penyakit hati disebabkan oleh lemahnya iman seseorang. Kemunafikan, kemusyrikan bahkan puncaknya adalah kekafiran. Sehingga kalau penyakit jiwa bisa dideteksi melalui penelitian-penelitian sampai ke tingkat microanatomi maupun biokimiawi, tetapi penyakit hati tidak dapat dideteksi secara anatomis, maupun biokimiawi. Dan kalau penyakit jiwa sebagai bagian dari penyakit yang dampaknya di akhirat seperti penyakit yang lain, yakni diampuni dosa-dosanya sesuai berat ringannya penyakit, bahkan ditingkatkannya derajat di sisi Allah. Karena satu penyakit seperti ditusuk duri pun bisa menjadi sebab diampuninya dosa, atau ditingkatnya derajat di sisi Allah SWT, apalagi tertusuk jiwanya. Maka, orang-orang yang sakit jiwa, di hadapan Allah kelak. Sedangkan penyakit hati karena lemahnya iman, maka di akhirat nanti harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. (QS Al Zalzalah : 7-8, Al Qaari'ah 6-9).

Sehingga obat penyakit jiwa adalah psikoteraphy atau obat-obat penenangan, noeroleptic atau teraphy kerja. Sedangkan penyakit hati obatnya adalah Al-Qur'anul Kariim, dzikrullah (selalu ingat kepada Allah), bertaqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), mauidhah hasanah (nasehat-nasehat kebajikan), dan ilmu. Ini semua adalah obat-obat penguat hati. Karena itu, jika kita ingin mengobati, maka harus bisa membedakan antara penyakit jiwa dengan penyakit hati, karena tidak sama jalur dan wilayahnya.

Marilah kita renungkan sejenak sebagian dari penyakit HATI .................

Pertama, penyakit yang sering mengganggu adalah takabbur (sombong, tinggi hati). Penyakit ini sangat tinggi tingkatannya, karena penyakit ini merupakan titisan sifatnya iblis. (QS Ashaad : 74, Al Baqarah : 34). Adapun penawarnya adalah menuntut ilmu. Karena orang yang sombong itu terkadang karena ilmunya masih mentah, atau masih setengah matang. Dan sadar akan dirinya sendiri, siapa hakekat dirinya. Bahwa diri ini di antara alam semesta ini tidak ada apa-apanya. Keberadaan diri ini di bumi ini saja sudah terlalu kecil, bahkan bumipun kalau dibandingkan dengan matahari terlihat kecil, matahari dibanding galaksi, terlihat lebih kecil. Sehingga diri ini harus sadar, bahwa di jagad raya ini, diri ini tak lebih dari sebutir debu. Bumi ibarat sebutir pasir, matahari hanya sebutir kerikil dst. Maka diri ini sangat tidak layak kalau dalam diri yang sekecil ini merasa sombong, tinggi hati.

Kedua, dendam. Tidak pernah memberi maaf kepada orang lain. Kesalahan orang lain ditumbuhkembangkan dalam diri, sehingga hatinya sendiri dijadikan sebagai keranjang sampah. Di dalam interaksi dengan sesama manusia, pasti akan menemui sesuatu yang tidak sesuai dengan hati kita, karena tidak mungkin dalam hidup ini terdapat kesempurnaan. Kalau hati ini ditata untuk menerima kesalahan orang lain maka selanjutnya tentu akan bisa memaafkan. Sehingga jika kita ingin menghilangkan rasa dendam, maka kita harus mendalami dan mengamalkan makna taqwa. Karena bagian dari taqwa adalah wal 'aafiina 'anin naas (memaafkan dengan sesama manusia).

Ketiga, riya'. Berbuat sesuatu bukan mencari ridha Allah, tetapi mencari pujian dan sanjungan dari orang lain. Riya' adalah termasuk syirik walaupun dalam kategori ringan. Penawarnya adalah pendalaman atas ibadah. Bagaimana bisa menjalani ihsan, yakni : "Menyembah Allah seakan-akan Dia melihatmu, jika tidak bisa maka seakan-akan Dia melihatmu". Kita jalani kehidupan ini, sikap dan perilaku kita seluruhnya diniatkan sebagai ibadah kepada Allah SWT. Jika seluruh perilaku, sikap, tindakan kita diniatkan mencari ridha Allah SWT, maka yang muncul adalah sikap ikhlas.

Keempat, egois. Semua untuk dirinya. Mengambil sesuatu yang bukan haknya. Termasuk di dalamnya adalah koruptor, yang mengambil uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri. Penyakit yang menjangkit terhadap para pejabat, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka mencari enak untuk dirinya sendiri walaupun dengan cara yang tidak benar. Penyakit ini di samping merupakan penyakit hati, juga termasuk penyakit jiwa. Penawarnya adalah latihan untuk membiasakan berbuat sesuatu yang sehat. Yakni membiasakan untuk selalu memberi dan berbagi. Dan membiasakan untuk selalu mengasah kepedulian sosial. Karena pada hakekatnya, nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah tidak untuk dinikmati sendiri, tetapi diwajibkan untuk berbagi.

Kelima, merasa pandai. Orang seperti ini akan cenderung meremehkan orang lain. Tidak mau mendengar, tidak mau belajar, dan tidak mau membaca. Tidak mau menerima kebenaran yang berasal dari luar yang sudah terlebih dahulu difahaminya. Ibarat katak dalam tempurung. Orang pandai atau tidak, bukan diukur dari ijazah, tidak diukur dari pangkat, atau jabatan apapun. Layazaalu aliiman maa thalabul ilm, wa idza dhanna annau aliiman faqad jahilan (Siapa saja yang terus belajar, itulah orang yang pandai dan jika mengira bahwa dia pandai, maka sesungguhnya dia masih bodoh).

Keenam, dengki dan iri hati. Tidak terima atas nikmat yang diterima orang lain. Penyakit ini dimulai dari generasi manusia kedua, yakni Qabil terhadap Habil. Padahal saat itu dia hidup yang bersih, tidak ada polusi moral seperti yang terjadi era sekarang. Sehingga sifat ini tidak karena pengaruh lingkungan, tetapi karena letupan hawa nafsunya sendiri. Penawarnya adalah melatih untuk bisa menerima diri kita sendiri. Banyak orang yang tidak menerima dirinya sendiri. Maka, kita harus selalu member motivasi kepada diri sendiri, untuk bekerja dan berjuang lebih keras, istiqamah, disiplin dan ikhlas. Apa yang dicapai oleh orang lain, merupakan instrospeksi terhadap diri sendiri.

Semoga renungan ini dapat membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri yang masih jauh dari kesempurnaan dan penuh dengan kekurangan.

No comments:

Post a Comment