Thursday, April 26, 2012

Bahaya Industri Agama


Satu dekade yang lalu, Inul Daratista digugat ramai-ramai oleh massa berjubah agama hingga sampai ke Majlis Ulama Indonesia. Gara-gara “pengeboran Inul” muncul H. Rhoma Irama di garis depan, dan sejumlah Ulama yang mendatangi DPR agar segera disahkan UU Anti Pornografi. Rupanya massa pedangdut lebih memihak Inul daripada Bang Haji, bukan karena fatwa keagamaannya, namun soal kejujuran beragama. Inul lebih jujur, karena dia “ngebor” semata mencari uang di Jakarta. Tetapi Raja Dangdut itu menggunakan lambang-lambang dakwah dibalik industri musikalnya, yang sangat tipis batasannya, apakah berdakwah melalui musik atau membangun industri musik dengan merek dakwah? 

Dalam waktu bersamaan, kiai dan budayawan, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) membuat lukisan heboh.  Melukis lingkaran majlis dzikir, ditengahnya ada perempuan sedang mengebor gaya Inul Daratista.  Suatu kritik spiritual yang luar biasa dalam kanvas itu, betapa banyaknya majlis dzikir yang tak lebih dari tirai bagi syahwat para pelakunya. Mereka kehilangan Allah Swt, ketika berdzikir, malah perpektif nafsunya yang muncul dalam ritualnya.

Ketidakjujuran seringkali menguatkan politisasi agama dan menciptakan tuhan-tuhan semu yang menjanjikan birahi instan, untuk sekadar melupakan problema sosial, ekonomi dan politik pada publik, adalah bentuk pelarian yang sungguh memuakkan. Belakangan malah muncul gerakan bisnis bernuansa spiritual, kecerdasan spiritual, sedekah berlipat duniawi, pelatihan-pelatihan pengembangan SDM bernuansa spiritual,  agar mendapatkan dua pundi-pundi sekaligus, mati masuk syurga, sekaligus dapat untung duniawi.  Gerakan yang justru menimbulkan pembusukan esensi agama itu sendiri.

Mengapa? Karena terjadi transaksi “gaya hidup beragama”, sebagai jawaban instan atas peluang-peluang material di celah-celah spiritual yang kososng. Hasilnya adalah status baru dalam kehidupan sosial modern, sosok manusia dengan gaya hidup modern, namun tetap religius dengan mainstream agar dipandang sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Padahal ajaran agama, sama sekali tidak mentolerir cara beragama yang riya’ dan hipokrit seperti itu.

Kasus-kasus penyimpangan atas nama agama, atau yang kebetulan dilakukan tokoh yang berlatar agama, mengingatkan kita betapa bahaya bendera-bendera agama dikibarkan untuk kepentingan industri ekonomi dan politik. Lebih-lebih ketika ummat terpedaya oleh kelatahan budaya, bahwa setiap yang didukung oleh mayoritas itu memiliki kebenaran mutlak, dan yang minoritas itu tidak lebih dari buih sampah yang batil. Padahal kebenaran bisa didukung mayoritas, dan bisa didukung hanya minoritas. Begitu juga sebaliknya, kebatilan.

Jika kita survey di seluruh negeri ini, merk-merk dagang dan merk “politik” dengan bernuansa serba religius, jumlahnya hampir ratusan. Karena menurut teori marketing, sebuah produk yang bisa melekat secara emosional setara agama, maka produk itu benar-benar sukses di pasar. Inilah yang menarik proyek “berhala bisnis” yang dijadikan lahan industri siapa pun yang ingin memaksa Tuhan menuruti selera nafsunya.

Karena komoditas manusia modern telah melampaui takarannya, maka perkembangan industri muncul dengan eksploitasi apa pun yang untuk membangun kapitalisasi dengan segala cara. Bahkan, konsumsi-konsumsi psikhologis yang maniak terhadap kekerasan, bisa dijadikan lahan bisnis kekerasan, dan berujung industri perang. Konsumsi hedonikal, bisa menyeret maniak kebinatangan manusia untuk dijadikan obyek potensial untuk industri syahwat, pemuasan perut, dan emosi status sosial, maupun mimpi semunya.

Kekerasan, kebuasan dan kebinatangan, akan terus tumpang tindih saling berkelindan dalam gerakan peradaban yang destruktif.  Agama dan simbol spititual menjadi sasaran paling potensial untuk dijadikan legitimator atas usaha-usaha syahwatiah tersebut, dan sangat berbahaya jika masuk dalam bursa pasar, sebagai spirit  dari satu sisi dua mata uang globalisasi.

Agama mana pun ketika tampil dalam konstruksi verbal, formal, dan simbolik, selalu berujung keruntuhan historinya, karena kepentingan berebut penguasaan simbol-simbol agama tidak pernah muncul sebagai kekuatan sejarah, kecuali sekadar buih-buih yang hebat yang menghempaskan dirinya sendiri dalam kebudayaan yang hampa, tanpa moral. Sehina mereka yang memperdagangkan akhirat untuk kepentingan dunianya, atau sehina mereka yang berbisnis dengan Tuhan, karena memaksakan nafsunya untuk mengukur kriteria keabsahan Ilahi dibalik sukses dan gagalnya urusan duniawi.

Kisah sedih yang berulang

Dalam kultur “amaliah publik” (awam) di bawah, tentu lebih banyak lagi  munculnya instanisme religious untuk mengukur derajat kesucian tokoh atau pemimpin agama.  Hal ini ditandai maraknya dunia magic dan hal-hal luar biasa yang dilatari kultur spiritual seseorang, lalu dijadikan ukuran status kesucian, manakala instanisme duniawi bisa diproduksi oleh kekuatan spiritualnya. Inilah bentuk-bentuk  pembebasan semu penuh tipudaya (ghurur) yang tidak membebaskan belenggu ketololan bangsa, khususnya umat beragama.

Kisah sedih soal manipulasi keagamaan, cabulisme, dan munculnya kepalsuan-kepalsuan spiritual, senantiasa berulang dalam kehidupan kita, terutama ketika depressi ekonomi dan politik menjadi kabut yang tidak menumbuhkan semangat dan harapan, maka spontanitas emosi sosial selalu bersemburat tanpa kendali, bahkan dalam pelarian spiritualnya.

Lembaga-lembaga agama, pemerintah dan institusi pendidikan sangat bertanggungjawab atas keberlangsungan kekuatan moral dalam beragama. Karena, dalam Islam, institusi itu mana pun, baik pemerintahan maupun Ormas, lembaga pendidikan,  dibangun justru untuk menegakkan agama. Bukan sebaliknya, agama dijadikan lahan formalisasi, bagi kepentingan ekonomi dan politik,  yang berujung perebutan hegemoni konflik.

Agama bukanlah hiburan spiritual yang dipertontonkan. Spiritualitas agama bukan menjadi pintu gerbang bagi para pemburu harta karun, apalagi untuk membangun piramida tahta. Jika memegang amanah agama ini seperti memegang bara, janganlah memilih salju duniawi melalui jubah agama. Karena anda akan sulit membedakan, mana nafsu menghadap Allah Swt, dan mana cinta kepada Allah Swt.

M. Luqman Hakim, Ph D
Dimuat di majalah GATRA edisi 16 / XVIII 29 Peb 2012

No comments:

Post a Comment