Monday, May 6, 2013

Mereka Menuhankan Akal






"Argumen tekstual, terkadang mampu menumpulkan daya kritis serta melumpuhkan akal sehat."

"Argumen-argumen tekstual tak jarang berfungsi bukan sebagai perambah keluasan cakrawala berpikir, tapi sebagai katup pembahasan."

Itulah dua diantara banyak statement nyeleneh yang ada di situs kaum liberal. Yang mereka maksud 'argumen tekstual' dan 'katup' adalah nash Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka menganggap keduanya ibarat katup yang mampu mengungkung kebebasan berpikir dan membatasi keluasan cakrawala.

Ya, mereka sangat menuhankan akal. Mereka menggelorakan semboyan kebebasan berpikir, yaitu berpikir tentang apapun tanpa batas, liar tanpa norma; termasuk dalam memahami Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka mengaggap bahwa akal lebih berhak untuk menentukan dan menafsirkan benar-salah, melebihi wahyu Allah. Bagi mereka, jika ada pertentangan antara Akal dan Quran/Sunnah, maka kedua wahyu tersebutlah yang perlu ditafsir ulang dengan kaidah hermeneutik ataupun pemahaman substansif.

Coba buka Ali Imron ayat 20. Mereka berani mengganti lafadz "innaddina 'indallahil islam" dengan "innaddina 'indallahil hanifiyah", sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam (Hanifiyah). Alasan mereka, kalau agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam, itu namanya Arogan dan tidak toleran. Astaghfirullah!

Entah darimana pikiran liar mereka berasal. Tapi yang jelas, sikap mereka tersebut menunjukkan kesombongan mereka. Sombong, karena mereka berani mengkritisi Al-Quran. Sombong, karena mereka menganggap bahwa mereka lebih pintar dalam membuat kaidah, melebihi Allah yang telah membuat kaidah baku dalam Al-Quran. Padahal, perbandingan ilmu seluruh manusia dan ilmu Allah ibarat setetes air dibanding seluruh samudera.

Posisi akal

Kaidahnya jelas: tidak mungkin ada pertentangan antara dalil/nash yang shohih dengan akal yg shorih (benar & lurus). Tetapi bila ditemukan gejala pertentangan antara keduanya, maka nash syar'i (Al-Quran & As-Sunnah) harus didahulukan daripada akal. Karena memang, akal manusia sangat terbatas sementara pengetahuan Allah luas, tanpa batas. Jauh melebihi daya pikir akal manusia. Akal dapat dijadikan dalil jika ia sejalan dengan Al-Quran & As-Sunnah. Ia berfungsi sebagai penguat kebenaran nash syar'i.

Peranan akal di sisi naql (nash syar'i) ibarat peranan orang awam di sisi mujtahid[1]. Para mujatahid-lah yang mengetahui nash syar'i beserta maksudnya, hingga dialah yang memutuskan hukum halal-haram berdasarkan kekuatan ilmunya terhadap nash syar'i tersebut dan ketundukannya kepada musyari (yang menentukan syariat, Allah dan Rasul-Nya). Sedangkan kewajiban orang awam -sampai ia tidak lagi awam- adalah memahami dan mengikuti mujtahid serta percaya kepadanya. Itu saja, tidak lebih! Karena bisa jadi, meskipun dijelaskan dalil dan istidlal[2] kepadanya, belum tentu si awam memahaminya.

Sulit diterima jika orang awam dipaksa berijtihad. Disamping pasti rusak, hal itu sama saja menghina dan mendzalimi mereka karena memaksa mereka untuk berbuat di luar batas kemampuannya.

Jelaslah, bahwa tidak sebanding kalau harus mempertentangkan akal dengan naql  (nash syar'i). Karena naql kebenarannya mutlak.

"Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu." (Al-Baqarah:147)

Sedangkan, kebenaran akal tidak mutlak, sangat tergantung dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang. "Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (Al-Isra 85).

Pilihan kesesatan, naïf !

Allah menurunkan wahyu dan mengutus para Rasul adalah untuk menutupi kekurangan manusia, termasuk kekurangan akal. Tanpa petunjuk wahyu niscaya sesat, tanpa teladan rasul niscaya kebingungan. Ya, Al-Quran dan As-Sunnah adalah karunia. Ia mampu membimbing dan mengarahkan hidup manusia. Dengannya seorang muslim akan lapang dan seimbang dalam hidupnya, bukan malah terkekang.

Bagi mereka yang menolak keduanya (Quran dan Sunnah), kemudian lebih memilih akal sebagai agama dan mengedepankannya atas wahyu; sesungguhnya mereka telah mengambil kesesatan daripada petunjuk, dan memilih dalam kebingungan daripada jalan yang lempang. 

Notes :
[1] Mujtahid : Orang yang kompeten untuk berijtihad/pemberi fatwa
[2] Istidlal : Makna dan maksud dari sebuah dalil.


No comments:

Post a Comment