Di dunia ini banyak orang merasa menjadi hamba Tuhan, kalau kita ke mesjid, biasanya ada papan pengumuman yang menampilkan nama-nama orang yang memberikan sumbangan untuk mesjid, kalau sumbangan dalam jumlah besar ditulis nama penyumbangnya, misalnya, dari "Haji Polan", atau dari "Kiayi Anu", akan tetapi kalau sumbangannya dibawah Rp. 50.000,- biasanya cukup menulis inisial, dari "Hamba Allah".
Karena malu sumbangannya kecil lantas dia bersembunyi dibalik nama "Hamba Allah", rasanya gampang sekali orang mengaku jadi hamba Allah, apa benar seorang yang memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu bisa secara otomatis menjadi hamba Allah? Atau Cuma pengakuan kita aja sementara Allah tidak mengakui kita sebagai hambanya?
Pertanyaan ini perlu menjadi bahan renungan untuk kita semua, sesuatu yang terkadang tidak lagi menjadi perhatian karena sudah menjadi suatu "kelaziman", lebih jauh saya coba memberikan pertanyaan yang lebih spesifik, "Sudahkah kita menjadi hamba Allah?", apa kriteria seseorang itu bisa digolongkan sebagai Hamba Allah?.
Judul tulisan ini tentunya akan menggugah selera kita untuk mengajukan banyak pertanyaan, diantaranya apa itu Hamba Baca, trus bagaimana dengan hamba Syetan, apa beda Hamba Tuhan dengan Hamba Syetan?
Saya berharap pembaca punya cukup kesabaran membacanya, karena masalah ini tidak bisa dijelaskan secara definisi, misalnya hamba syetan adalah…., hamba Tuhan adalah…, saya lebih tertarik membahas ketiganya dalam bentuk cerita, permisalan dan contoh, selanjutnya terserah kepada pembaca untuk memberikan definisi menurut selera masing-masing.
Hamba Baca
Terkadang saya jadi tidak sabar menghadapi orang-orang baru pandai membaca, hapal sekian hadist, hapal sekian ayat Al-Qur'an, menjalankan ibadah menurut pengetahuannya, memperpanjang jenggot sebagai bagian dari sunnah Nabi (padahal masih banyak sunnah lain yang lebih pokok), dan bangga dengan jidat hitam sebagai tanda orang sering shalat, sebagai tanda bekas sujud katanya, tentang ini saya masih penasaran, kok bisa jidatnya hitam, padahal saya juga melaksanakan shalat wajib dan sunnat mulai dari umur 6 tahun tidak pernah tinggal sampai sekarang jidat saya kok gak hitam-hitam juga, apa saya belum beriman? Atau saudara-saudara kita yang hitam jidatnya kalau sujud digosok-gosok jidatnya ke lantai biar hitam, kecurigaan ini timbul karena ada teman baru 3 bulan masuk golongan berjubah-jubah langsung jidatnya jadi hitam, saya sebenarnya pengen nanya, pake obat apa?
Orang-orang yang beragama pada tataran membaca ini biasanya punya semangat tinggi, kalau ada orang melakukan ibadah tidak sesuai dengan apa yang dia baca langsung di cap bid'ah, syirik, kafir, istilah kerennya TBC (Tahayul Bid'ah Chufarat) yang benar cuma dirinya aja, dengan menyandang gelar Ustad tentu dihormati dan gampang sekali mengeluarkan fatwa lagaknya seorang ulama besar. Saya pernah ikut sebuah pengajian, sebenarnya bukan niat ikut, dulu waktu saya kuliah setelah shalat 'Ashar di kampus, saya duduk di mushala, disitulah komunitas orang-orang "alim" ini membahas masalah hukum merayakan maulid.
Peserta pengajian bertanya, "Ustaz, apa boleh kita merayakan maulid?" tanpa menunggu pertanyaannya selesai sang Ustaz dengan spontan menjawab, "Haram hukumnya melaksanakan maulid, lebih besar dosanya melaksanakan maulid daripada berzina atau mencuri, kalau mencuri dan berzina bisa bertaubat tapi kalau merayakan maulid adalah bid'ah yang mengarah kepada pengkultusan manusia, ini tergolong menyekutukan Allah, kekal dalam neraka, ulama salafus shalih tidak…" saya langsung angkat kaki mendengar ocehan sang Ustaz. Hebatnya, dia bisa menetapkan hukum hanya bermodalkan beberapa buah hadist. Padahal ulama dulu sangat hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Prof Abu Khaled Al Fadh ahli fiqh yang telah membaca lebih 50.000 judul kitab klasik dan modern termasuk karya-karya yang masih dalam bentuk manuskrip mengatakan bahwa seseorang boleh disebut sebagai Fuqaha (ahli hukum Islam) dan boleh mengeluarkan fatwa apabila telah mempelajari minimal 20 tahun tentang hukum Islam dari berbagai mazhab. Kalau sekarang cukup ikut kajian di kampus 3 bulan sudah langsung bisa mengeluarkan fatwa. Dan fatwa-fatwa kelas teri ini sangat berbahaya karena biasanya keluar atas ketololan dia dalam memahami agama. Inilah yang seharusnya diberi gelar "SESAT DAN MENYESATKAN".
Orang-orang yang terfokus kepada bacaan, dalil-dalil ini saya golongkan kepada Hamba Baca dengan segala ciri-ciri yang telah saya uraikan di atas. Menghadapi orang seperti ini kalau anda bawa sekarung dalil kalau tidak sesuai dengan apa yang dia baca pasti dia bantah. Kalau kita bertanya secara kritis, apa hubungan membaca dengan Tuhan? Apa setelah kita baca sekian ayat, kita hapal ribuan hadist langsung bisa menjadi hamba Allah?
Hapalan tetaplah hapalan, itu akan disimpan didalam otak, tahukah anda beda tukang becak/pengemis dijalanan dengan profesor? Kalau mereka sama-sama tidur tidak ada bedanya, coba ajukan satu pertanyaan kepada mereka (Pengemis dan Profesor), pasti keduanya sama-sama tolol tidak bisa menjawab pertanyaan.
Siapa yang bisa menjawab pertanyaan kalau lagi tidur? Yang bisa menjawab pertanyaan adalah Para Rasul, Para Nabi dan Guru Mursyid yang Kamil Mukamil, bagi mereka antara tidur dan jaga tidak ada bedanya.
Hamba Syetan
Orang yang hanya pandai membaca ini, coba kita tanya, "kalau anda shalat apa yang anda ingat?" jawabnya "Allah", apa benar anda ingat Allah, apa anda sudah kenal dengan Allah? Sudah pernah anda jumpa dengan Allah? Bagaimana anda bisa mengingat sesuatu yang belum pernah anda jumpai?
Pertanyaan kritis (mungkin juga dianggap gila) sudah selayaknya kita tanyakan, selama ini kita merasa menyembah Allah, padahal kita cuma menyembah dinding, cuma menyembang tikar sembahyang. Selama ini kita merasa mengingat Allah padahal yang kita ingat Cuma masalah kita, derita kita, pacar, kawan, dan beribu-ribu kenangan datang saat kita beribadah? Apa ini yang dinamakan khusuk?
Dan lebih parah lagi orang-orang seperti ini biasanya sok khusuk, mengosongkan diri katanya, padahal di dunia ini tidak ada yang kosong.
Yang harus kita ketahui bahwa syetan itu tamatan universitas langit, umurnya ribuan tahun, bisa masuk kemana saja, bisa menyerupai wajah apa saja kecuali wajah Rasulullah SAW dan ulama pewaris nabi.
Artinya ketika kita shalat terbayang wajah istri, anak, kampus, pohon dan lain-lain hakikatnya kita membayang wajah syetan (ingat seluruh wajah bisa ditiru syetan), kalau kita shalat maksud hati menyembah Allah eh rupanya yang disembah adalah syetan, inilah yang saya maksud dengan Hamba Syetan.
Upz, bukankah syetan itu takut dengan ayat-ayat Al-Qur'an? Benar, ayat Al-Qur'an yang diucapkan oleh orang yang beserta Allah, coba kalau ayat Al-Qur'an itu dibaca oleh orang yang tidak beriman, misalnya orang yahudi, apa syetan lari?
Bukan bacaan Al-Qur'an produksi kita yang membuat syetan lari terbirit-birit, tapi bacaan Al-Qur'an yang tersalur dari dada Rasulullah SAW terus kepada para Khalifahnya sampai kepada kita.
Pernah kita meriset ayat-ayat Al-Qur'an? Misal "A'uzubillaahi minasy syaithaanir rajiim" apa pernah syetan lari kalau kita membacanya?
Waktu saya kecil kira-kira umur 14 tahun, dikampung kan biasa ada pengajian Al-Qur'an (Tadarus) dibulan Ramadhan, jarak antara rumah saya dengan Mesjid lebih kurang 200 meter, jalannya gelap. Sepulang ngaji, jam 2 malam, karena takut saya baca ayat Kursi yang katanya bisa mengusir syetan, tiba di "Wahuwal 'aliyul 'azim" eh bukan syetan yang lari tapi malah saya yang lari..
Sudah saatnya kita meng Upgrade diri kita dari hamba baca/hamba syetan beralih kepada hamba Tuhan, kalau pengetahuan kita tidak di Upgrade, sangat disayangkan, shalat masuk neraka wail, puasa hanya lapar dan dahaga, pergi ke Haji hanya jumpa dengan sebongkah batu bernama Ka'bah, benar sekali Hamzah Fanshuri menyindir dalam syairnya, "pergi ke Mekkah mencari Allah pulang kerumah bertemu Dia.
Coba renungkan, seorang melaksanakan tata cara shalat seperti yang pernah dipelajari umur 7 tahun, paling kalau sudah dewasa ditambah dengan mengetahui makna bacaan, dia melaksanakan shalat sampai lanjut usia dengan ilmu shalat yang diperoleh ketika umur 7 tahun, tidak maju-majunya.
Ia tidak pernah diajar bagaimana cara pelaksanaan teknis memusnahkan IBLIS dalam hati sanubari, yang sebenarnya adalah POKOK/PANGKAL dari shalat yang khusuk.
Ia hanya diajarkan menyebut A'uzubillaahi minasy syaithaanir rajiim yang dproduksinya sendiri secara awam, ia sebenarnya baru diajarkan meniru bunyi, tanpa pernah diajarkan cara pelaksanaan teknisnya menyalurkan Ayat tersebut dari Sumbernya yang Maha Dasyat, yang diarahkan pada sasarannya, sehingga musnah sama sekali, walaupun kepada kita dipesankan untuk melaksanakan shalat khusuk, tapi bagaimana shalat bisa khusuk dari dalam masih ada unsur Iblis yang mengganggu, seperti yang difirmankan Allah dalam surat An-Nash, syetan berbisik-bisik dalam dada manusia sejak lahir, dan tentu bisikan itu akan terus ada sampai akhir hayat kalau tidak tahu cara/teknis mengusirnya. Dari dunia beserta Iblis sampai ke akhirat kelak dalam diri masih bersemayam sang Iblis beserta bala tentaranya, sudah pasti tidak akan pernah mencium bau syurga.
Kenapa ustadz tidak pernah bisa menjelaskan bagaimana shalat menjadi khusuk? Bagaimana kita bisa berjumpa dengan Allah?
Ya karena itu bukan ilmu yang dipelajarinya, bagaimana mungkin seorang ahli hukum misalnya bisa menciptakan mobil, apa bisa dengan mengalun-alunkan ayat-ayat buku teknis membuat mobil lantas bisa mobil itu terwujud? Mustahil, harus kita serahkan kepada yang ahlinya, yang mengerti tentang teknologi mobil, yang pernah mendapat pelatihan oleh yang ahli pula, dan tentunya punya bengkel untuk mempraktekkan segala yang tercantum dalam buku petunjuk membuat mobil.
Tentang Haji, saya pernah bertanya kepada orang yang baru pulang haji, dia dengan sombongnya merasa telah menjadi tamu Allah. Saya bertanya, "Kalau kita diundang oleh Pak Camat, yang nulis surat pak camat apa bisa kita jumpa dengan Pak Camat?" dia jawab "bisa". Kemudian saya tanya lagi, "Kalau kita diundang oleh Gubernur, apa bisa kita jumpa dengan Gubernur?"
"tentu bisa" jawabnya, dan kemudian saya tanya, "Kalau kita diundang oleh Allah ke Baitullah, apa bisa kita berjumpa dengan Allah". Dia diam, pertanyaan ini tidak bisa dijawab.
Jawabannya, tentu bisa, kalau anda bisa berjumpa dengan Allah di Jakarta, sudah pasti di Mekkah akan jumpa juga karena Allah itu Maha Esa dan ada dimana-mana, Kalau di Jakata anda tidak kenal Allah sudah pasti di Mekkah juga tidak pernah anda jumpai dan di akhirat apalagi…
Hamba Tuhan..
Seorang hamba Allah sudah pasti kenal dengan Allah, sudah pasti pernah berjumpa, sudah pasti yang dia ingat dan yang dia sembah adalah sesuatu yang Maha Nyata, sehingga tidak mengherankan kalau orang-orang yang telah sampai tahap makrifat begitu yakin ketika berbicara tentang Allah.
Bagaimana kita kenal dengan mertua? Pernah kita bersalaman, pernah duduk berdialog, kenal dengan orang tua juga demikian, lantas bagaimana kenal dengan presiden? Kebanyakan orang cuma tahu presiden jarang sekali sampai ke tahap berkenalan.
Sangat disayangkan, kebanyakan orang merasa kenal dengan Allah, merasa menjadi hamba Allah,
padahal…
ya…
padahal ….
Coba anda iseng bertanya kepada anak kelas 1 SD, "berapa 3-5?" Pasti dia balas nanya, apa pertanyaannya gak salah tuch? "Maksudnya 5-3 ya?" Dan anda kembali mengajukan pertanyaan yang sama, "pertanyaannya sudah benar, tiga kurang lima", dengan bingung anak SD itu mengamati jari nya, kemudian dia mengatakan kepada anda : "Mana mungkin bilangan kecil bisa mengurangi bilangan besar?" kemudian karena anda sudah SMP dan tahu perhitungan seperti itu dimana hasilnya adalah (-2) "negatif 2" kemudian anda memaksakan ilmu anda kepada anak SD, apa yang terjadi? Pasti sang anak SD tersebut akan menyalahkan anda, dan menuduh anda sebagai orang yang suka mengada-ngada, yang kalau dalam ilmu agama anda disebut sebagai pembuat pembuat bid'ah :D
Siapa yang salah?
Kemudian coba amati anak SD membaca, dengan suara yang keras dan berirama dia membaca kata perkata, kalimat per kalimat dengan sangat hati-hati, setiap tanda baca diperhatikan dengan baik, kalau ketemu dengan tanda tanya (?) maka dialunkan suaranya dengan merdu sebagai tanda itu kalimat bertanya,
Perhatikan kemudian anak SMP membaca, tidak terdengar lagi suara, Cuma mulutnya komat-kamit seperti mbah dukun baca mantera, kepalanya menggelang dari kiri ke kanan, kemudian diulang lagi, terus dan terus seperti itu sampai dia selesai membaca.
Bagaimana anak SMA membaca? Wah lebih keren lagi, dengan menopangkan dagu di kedua telapak tangan, kepalanya menatap buku dengan serius, sekali-kali matanya berkedip, yang bergerak cuma mata sedangkan kepalanya diam, dan mulutnya terkunci rapat, sekali-kali dia menyeka keringat di jidat tanda dia sedang memikirkan masalah yang rumit.
Ketiga cara membaca di atas yang mana yang benar? Jawabannya semuanya benar, cuma tergantung tingkatan masing-masing, bisakah metode membaca anak SMA dipaksakan kepada anak SD?
Jawabannya tentu TIDAK, kalau dia memaksakan pastilah anak SD menuduh anak SMA sebagai pembuat bid'ah, karena ilmu seperti itu tidak pernah diterima di bangku SD, guru-guru di SD pun sangat melarang murid-murid nya membaca tanpa membuka mulut.
Ilustrasi di atas sepertinya cukup untuk menggambarkan bahwa ilmu apapun yang kita pelajari mempunyai tingkatan atau level, terkadang antara level terendah dengan level tertinggi seolah-olah bertolak belakang, tidak berhubungan sama sekali, padahal sangat berhubungan cuma karena ada beberapa tingkatan yang belum dipelajari maka tingkatan tertinggi itu terkesan aneh dan kadangkala menakutkan.
Saya juga terkadang bertanya dalam hati, apa hakikat-hakikat yang dikemukakan dalam artikel renungan Qalbu sedemikian mengerikan sehingga orang-orang yang belum mendalami thariqat jadi takut membacanya?
Akan tetapi saya menyakini bahwa masih banyak orang-orang yang memahami dan bisa mengikuti apa yang selama ini ditampilkan, yang bisa mengambil hikmah serta ilmu dan bisa menjadi obat dalam proses mencari kebenaran.
Siapa Sesungguhnya Hamba Allah?
Sebelum kita membahas tentang bagaimana menjadi Hamba Allah terlebih dahulu kita harus tahu siapa hamba Allah. Tentu pembahasan ini tidak terlepas dari dalil-dalil naqli yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadist sebagai pedoman umat Islam.
Allah berfirman dalam hadist Qudsi :
Apabila hamba-Ku menghampiri diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai dari pada sekedar mengamalkan apa-apa yang telah Ku wajibkan atasnya, dan terus menerus menghampiri Ku dengan malan-amalan yang baik, hingga Aku mencintainya, maka apabila aku telah mencintainya, adalah Aku pendengarannya bila ia mendengar, Akulah penglihatannya bila ia melihat, dan Aku lah tangannya apabia ia mengambil (melakukan sesuatu), Akulah kakinya bila ia berjalan, jika ia bermohon niscaya Aku perkenankan permohonannya dan jika meminta perlindungan kepada-Ku pastilah Aku lindungi dia. (H.R. BUKHARI).
Berdasarkan hadist di atas, seorang hamba Allah itu mempunyai kedudukan sangat istimewa, dimana penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya telah dipenuhi Nur Allah, sehingga seluruh tubuhnya telah bermandikan nur, seluruh tubuhnya sudah mencapai kullu jasad. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Saydina Umar Bin Khattab apabila jin bersentuhan dengannya langsung mati, jangankan menggoda mendekati pun tidak bisa.
Siapa orang yang do'anya dikabulkan Tuhan?
Dizaman Nabi seseorang telah berbuat dosa kemudian meminta ampun kepada Allah, ternyata Allah tidak mengampuninya, kemudian dia memohon kepada Rasulullah SAW dan atas permohonan Rasulullah SAW kepada Allah maka dosa orang tersebut diampuni Tuhan.
Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa ayat 64)
"Jikalau mereka telah menganiaya dirinya (berbuat dosa) lantas datang kepada-Mu (hai Rasulullah) lalu mereka memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang"
Seorang Hamba Allah karena telah diliputi oleh Nur ala Nurin, dari seluruh tubuhnya memancarkan cahaya Allah, sebagaimana firman Allah : "Telah Aku ciptakan rupa nur-Ku sebagaimana rupa hamba-Ku".
Kalaulah demikian kriteria seorang disebut sebagai hamba Allah, Marilah kita dengan jujur bertanya dalam hati, apakah kita sudah menjadi hamba Allah? Apakah diri kita sudah diliputi nur-Nya sehingga syetan mana pun tidak akan berani meniru apalagi menggoda?. Apakah kita ini sudah tergolong orang yang apabila bermohon kepada Allah langsung dikabulkan?
Kalau saya pribadi menjawab bahwa saya masih jauh.Dalam diri saya masih banyak hantu dari pada Tuhan. Terkadang orang tidak bisa membedakan yang mana hantu dan yang mana pula Tuhan. Bagai mana mau membedakan sedangkan Tuhan yang disembah juga masih X, alias gaib.
Dan yang lebih konyol lagi, ada sekelompok orang yang masih memperdebatkan Tuhan dimana, ada yang mengatakan Tuhan di langit dan ada yang mengatakan Tuhan itu ada dimana-mana.
Yang berpendapat Tuhan di mana-mana di cap sesat oleh kelompok yang berkeyakinan Tuhan hanya ada di langit. Inilah contoh orang yang sama-sama belum jumpa Tuhan.
Kenapa mesti sibuk-sibuk mencari Tuhan? Kenapa anda tidak mencari kekasih-Nya saja, mencari hamba-Nya saja, pasti hamba dan kekasih-Nya tahu dimana Tuhan berada. Mengutip ucapan Gusdur " Itu aja kok repot"
Tapi yang parahnya kaum wahabi mengingkari adanya wasilah dan menggolongkan orang-orang yang bertawasul itu sebagai pembuat bid'ah dan berani menuduh sebagai syirik dan kufur, padahal rahasia agar bisa berjumpa Allah adalah dengan menemukan channel-Nya, melalui frekwensi-Nya dalam Al-Qur'an disebut sebagai NURUN ALA NURI, itulah wasilah-Nya
Kalau kita merasa diri belum menjadi hamba-Nya, lalu bagaimana agar kita bisa menjadi hamba-Nya?
Cara terbaik dan paling aman adalah mencari seseorang yang telah menjadi hamba-Nya, kemudian dari Beliau kita belajar bagaimana cara menjadi hamba Allah. Bukankah cara itu lebih masuk akal ketimbang hanya sekedar membaca?
No comments:
Post a Comment