Pernahkah kita membayangkan untuk dapat beragama secara mudah lagi indah ? Keberagamaan yang tampil di sekitar kita seringkali merupakan pengejawantahan dari sikap keberagamaan dengan wajah garang, pertumpahan darah, pembakaran rumah Tuhan, perang sekte, atau gontok-gontokan.
Tuhan pun digambarkan sebagai sosok yang mahaangker, menakutkan, mengerikan; Tuhan hadir sebagai sosok maharaksasa dengan wajah bengis, mata melotot, dan siap menghukum hamba-hambanya. Ajaran agama disodorkan dengan didampingi “foto-foto” neraka, kedahsyatan siksa, manusia yang merintih kesakitan sebagai konsekuensi ketidak patuhan.
Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi perempuan yang namanya sangat masyhur, pernah marah dengan model keberagamaan yang garang seperti itu. Ia berlari-lari dengan membawa api dan air di kedua tangannya sambil berteriak bahwa ia akan menyiram neraka karena banyak dari umat manusia yang beragama dengan landasan rasa takut masuk neraka. Ia juga akan membakar surga karena banyak juga orang yang beragama karena berharap surga.
Sebagai alternatif dari keberagamaan seperti itu, Rabi’ah lantas memajukan alternative sebuah keberagamaan yang dilandasi oleh cinta (mahabbah). Kekuatan dari cinta, bagi Rabi’ah, justeru jauh lebih dahsyat dari pada surga dan neraka. Cinta mampu mematikan nyala api neraka dan dapat membakar istana-istana di surga.
Bisakah cinta, keramah-tamahan, dan senyum digunakan sebagai alat untuk meluluhkan berandalan yang jahat?
Buku A 3rd Serving of: Chicken Soup for the Soul diantaranya mengungkapkan hal ini. Pengalaman Robert Gass yang diberi judul “Tamu Malam Hari” (hal.37-45) menunjukkan kepada para pembaca bahwa penjahat bisa runtuh sifat begisnya ketika berhadapan dengan cinta. Keluarga Gass terlepas dari perkosaan dan pembunuhan para perampoknya yang semula menghantui mereka. Bila ada orang menampar pipi kananmu, demikian sabda Jesus, maka berikan pipi kirimu.
Di Indonesia, beberapa tahun lalu, ada cerita yang cukup mengharukan. Pak Amir (sebut saja demikian) bekerja di sebuah perusahaan swata di Jakarta. Dia orang yang tekun dan jujur, namun ia tidak dikarunia kesehatan yang baik. Ia punya penyakit paru-paru. Pak Amir yang tidak boleh terkena angina malam itu dengan susah payah mengumpulkan uang untuk membeli mobil sederhana. Belum berapa lama memiliki mobil, seorang pencuri telah mengambil mobil tersebut.
Pak Amir lantas menulis surat pembaca di beberapa Koran Ibu Kota yang isinya, diantaranya, sebagai berikut, “Mobil itu saya beli dengan susah payah, bukan dari uang hasil korupsi atau menzalimi orang. Saya membelipun karena saya sakit dan dokter meminta saya agar tidak terkena angina malam. Padahal saya selalu pulang kerja dimalam hari. Saya berharap kepada orang yang mengambil mobil tersebut kasih sayangnya untuk mengembalikan kepada saya.” Tak selang berapa lama dari surat pembaca ini dimuat, mobil Pak Amir telah kembali.
Akhir tahun 2001 yang lalu, rumah seorang atlet Olimpiade dari Amerika Serikat kebobolan pencuri. Barang-barang berharganya luders, termasuk medali Olimpiadenya. Sang atlet lantas mengngkapkan kepad wartawan betapa sedih hatinya ketika medali Olimpiadenya ikut diambil pencuri. Ia berkata, “Medali itu sangat berarti bagi saya. Itulah hasil jerih payah saya dan kebanggaan saya. Bagi orang lain, mungkin medali itu tidak ada artinya.” Menakjubkan, si pencuri baik budi dengan diam-diam lantas menaruh medali itu dikantor polisi dekat rumah atlet tersebut.
A 3rd Serving of: Chicken Soup for the Soul mengungkapkan kisah seorang anak lelaki yang keleahan berjalan untuk “mencari Tuhan”. Tiba-tiba anak tersebut bertemu dengan seorang nenek yang kelihatan lapar di sebuah taman, mereka lalu saling memberikan senyum, bersahabat dan makan bersama dengan penuh kegembiraan. Pengalaman itu mereka rasakan sebagai pertemuan dengan Tuhan yang penuh kasih sayang (hal.51-52). Begitu dahsyatnya kekuatan cinta.
Berkaitan dengan kekuatan cinta Ali Syari’ati menyebut ada empat macam penjara yang merintangi manusia mencapai tahapan hidup yang lebih sempurna. Apa itu? sifat dasar, sejarah, masyarakat, dan ego manusia. Empat penjara itu bukanlah empat penjara yang abadi menggencet manusia hingga ia kalah. Manusia memiliki potensi untuk keluar dari cengkraman penjara-penjara tersebut selama ia mampu melakukan tugas-tugas ekstra yang bekerja “meminggirkan”. Dengan usaha itu, seseorang bisa mengubah dirinya dari kedudukannya sebagai makhluk biasa menjadi makhluk yang sempurna.
Kesatu, untuk membebaskan diri dari sifat dasarnya, manusia harus berusaha sendiri dengan membangun ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, untuk membebaskan diri dari penjara sejarah (prison of history), seorang manusia harus mengetahui tahapan-tahapan sejarah dan hukum-hukum deterministik. Ketiga, manusia bisa bebas dari kurungan masyarakat dengan bantuan pengetahuan dan kesadaran pribadinya tentang masyarakat itu. Dan keempat, semua manusia itu berada dalam penjara egonya. Dan ini, kata Syari’ati, adalah persoalan yang paling pelik untuk dicacah-urai karena antara “penjara” dan “tawanan” kerap tak bisa dipisahkan. Lalu dengan apa membebaskan dari penjara ego ini?
“Dengan cinta,” kata syari’ati.
Hanya cinta yang mampu melumatkan penjara itu selumat-lumatnya. Dengan catatan, cinta yang dimaksud adalah cinta yang gaungnya seperti gunung berapi, yang mampu menimbulkan kekuatan dahsyat, dan cinta yang mampu menyulut pemberontakan, terutama pemberontakan dari dalam diri sendiri. Maka secara substantif, cinta melahirkan kekuatan yang mendorong pecinta untuk mengorbankan semua yang ia miliki, baik kepentingan, perhatian, dan bahkan hidupnya sendiri untuk semua yang dicintai. Dengan kata lain, cinta melahirkan suatu kekuatan untuk memberontak melawan sifat dasar manusia dan mengorbankan kehidupannya demi sebuah cinta dan idaman.
Cinta yang gaungnya seperti gunung berapi, yang juga mampu melahirkan “senyum tulus”, senyum yang lahir dari hati yang paling dalam, dari kerinduan ingin membahagiakan orang lain, dari kerinduan menghormati dan memuliakan orang lain. Rasulullah SAW telah mempraktekkan senyuman yang tulus di hadapan para sahabat. Di mata sahabat-sahabatnya, beliau selalu hadir dalam wajah murah senyum, wajah yang cerah dan wajah yang indah.
Sebenarnya, kita dapat meraih sejumlah keuntungan dari senyum.
Pertama, senyum dapat meningkatkan penampilan. Agar kita tampil lebih manis, lebih menawan dan lebih menyejukkan.
Kedua, orang yang murah senyum akan jauh dari stres karena ia terhindar dari penyakit ketegangan. Jantungnya akan berdetak normal. Peredaran darahnya akan mengalir dengan baik. Karena, senyum mendorong hati menjadi ceria dan membuat kita awet muda. Menurut salah seorang dokter, senyum hanya mengandalkan 17 otot wajah, sementara cemberut membutuhkan tarikan 32 otot wajah. Inilah salah satu sebab mengapa wajah terkadang terlihat cepat tua bagi orang yang jarang tersenyum.
Ketiga, mereka yang ahli senyum akan merasakan pergaulannya menyenangkan. Hati kita terasa segar melihat ahli senyum. Keakrabannya sangat terasa. Suasana pergaulan bagi ahli senyum selalu hangat. Bahkan mampu menambah semangat dibanding dengan orang yang dalam pergaulannya selalu berwajah bermuram durja. Lebih dari itu, senyuman ternyata dapat meluluhkan emosi orang yang marah. Bila ada orang yang marah mendatangi kita, hadapilah dengan senyman yang bening lagi tulus. Yang pasti, senyum semcam ini bakal mampu meredam emosi orang yang marah. Kita harus memperhatikan situasi dalam tersenyum. Kapan waktu paling tepat untuk tersenyum, karena senyum yang baik lahir dari hati yang tulus dan tempat yang memungkinkan. Orang-orang yang memiliki kemuliaan, kematangan pribadi dan arif biasanya memiliki senyuman proporsional. Sebaliknya, mereka yang emosional, terbawa hawa nafsu dan berbuat keji cenderung memiliki senyum tidak proporsional.
Abu Yazid Al Busthami, pelopor sufi, pada suatu hari pernah didatangi seorang lelaki yang wajahnya kusam dan keningnya selalu berkerut. Dengan murung lelaki itu mengadu,"Tuan Guru, sepanjang hidup saya, rasanya tak pernah lepas saya beribadah kepada Allah. Orang lain sudah lelap, saya masih bermunajat. Isteri saya belum bangun, saya sudah mengaji. Saya juga bukan pemalas yang enggan mencari rezeki , Tetapi mengapa saya selalu malang dan kehidupan saya penuh kesulitan?"
Sang Guru menjawab sederhana, "Perbaiki penampilanmu dan ubahlah roman mukamu. Kau tahu, Rasulullah adalah penduduk dunia yang miskin namun wajahnya tak pernah keruh dan selalu ceria. Sebab menurut Rasulullah, salah satu tanda penghuni neraka ialah muka masam yang membuat orang curiga kepadanya." Lelaki itu tertunduk. Ia pun berjanji akan memperbaiki penampilannya. Wajahnya senantiasa berseri. Setiap kesedihan diterima dengan sabar, tanpa mengeluh. Alhamdullilah sesudah itu ia tak pernah datang lagi untuk berkeluh kesah.
Tak heran jika Imam Hasan Al Basri berpendapat, awal keberhasilan suatu pekerjaan adalah roman muka yang ramah dan penuh senyum. Bahkan Rasulullah menegaskan, senyum adalah sedekah paling murah tetapi paling besar pahalanya. Demikian pula seorang suami atau seorang isteri. Alangkah celakanya rumah tangga jika suami isteri selalu berwajah tegang. Sebab tak ada persoalan yang diselesaikan dengan mudah melalui kekeruhan dan ketegangan. Dalam hati yang tenang, pikiran yang dingin, wajah cerah serta senyum yang manis dan tulus, Insya Allah, apapun persoalannya niscaya dapat diatasi. Tuhan bertakhta dalam senyuman kita. Dan sepertinya cinta dan senyum harus menjadi model alternative keberagamaan kita saat ini.
No comments:
Post a Comment