Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
Hal-hal sebagaimana di atas memang tidak disuka oleh berbagai
kalangan: Misalnya sekelompok kaum yang tidak suka karena adanya berita
(akhbar) yang diriwayatkan dari sebagian imam terdahulu, ulama dan
tabiin, bahwa mereka tidak menyukainya. Sehingga orang yang tidak suka akan beralasan karena
mengikuti mureka, sebab mereka adalah figur dan imam dalam berbagai
hukum keagamaan dan tokoh pada zamannya bagi umat Islam.
Sementara itu, suatu kaum dari kalangan para murid, orang-orang yang
mendekat kepada Tuhan dan bertobat juga tidak menyukainya, karena sangat
berbahaya bila mereka bisa menikmati kesenangan dan mengikuti
kesenangan nafsunya, sebab “ikatan” yang sudah diikat dengan kuat akan
bisa terlepas dan terurai lagi, kemauan kuatnya akan hancur. Cenderung
mengikuti keinginan nafsu dan terjerumus dalam fitnah dan bencana.
Ada pun kelompok lain yang tidak suka hal ini dan berpendapat, bahwa
menyeburkan diri untuk mendengarkan potongan-potongan bait syair ini
tidak bisa lepas dari dua kemungkinan: Bisa jadi termasuk kelompok
orang-orang yang hanya menghibur diri, yaitu suatu kaum yang suka
bermain-main dan fitnah; dan bisa jadi termasuk kaum yang telah mencapai
tingkat kondisi spirituaI yang mulia dan telah memeluk erat
tingkatan-tingkatan spirituaI yang diridlai, mematikan nafsu mereka
dengan latihan-latihan dan perjuangan spiritual, melempar dunia di
belakang mereka dan mencurahkan segalanya hanya untuk Allah Azza
wa-Jalla dalam segala makna mereka. Kelompok ini mengatakan, “Kami
bukanlah golongan yang pertama dan juga bukan golongan yang kedua.
Sehingga tidak ada artinya kami menyibukkan diri dengan hal itu,
sementara meninggalkan hal itu adalah lebih baik bagi kami dengan
alternatif untuk menyibukkan diri dengan Iman, melaksanakan kewajiban
dan menjauhi dari yang diharamkan.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Saya mendengar
Ahmad bin al-Wajihi berkata: Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzabari
—rahimahullah— mengatakan, Dalam masalah ini kami teIah mencapai pada
suatu posisi yang tajamnya seperti pedang. Apabila kita ikut condong
kesitu, maka kita akan masuk ke neraka.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Ja’far al-Khuldi
memberitahu saya tentang apa yang pernah saya bacakan kepadanya: Saya
mendengar al-Junaid —rahimahullah— bekata: Suatu ketika aku pernah
berkunjung ke tempat Sari as-Saqathi, lalu Ia bertanya kepadaku,
“Bagaimana kabar sahabat-sahabat Anda, masih melagukan kasidah?” “Ya”
jawabku. Kemudian ia berkata, “Mereka melagukannya dengan cinta berat?
Seandainya Anda berkenan maka aku akan melagukan kasidahku seperti cara
mereka.”
Al-junaid berkata, “Ia memiliki banyak kasidah namun disembunyikannya karena takut.”
Ada pula kelompok lain yang tidak menyukainya, dengan alasan bahwa
tidak semua orang awam bisa memahami maksud kaum Sufi dari apa yang
mereka dengar. Bisa jadi mereka keliru dan tergelincir dari apa yang
mereka maksud, sehina mereka tidak menyukainya karena kasihan kepada
orang-orang awam dan menjaga orang-orang khusus serta menjaga waktu agar
tidak terbuang sia-sia, sebab bilamana waktu telah terlanjur hilang
maka tidak akan bisa dicari kembali.
Ada kelompok lain yang tidak menyukainya juga memberikan alasan,
bahwa Ia telah kehilangan teman-teman yang sederajat, tidak ada orang
yang cocok dari layak untuk melakukannya, sebab akan menjadi bencana
bila ia bercampur dengan orang-orang yang tidak sepadan dan harus
berteman dengan orang-orang yang justru sebaliknya. Maka ia
meninggalkannya untuk mencari yang lebih selamat, karena Ia mengerti
kondisi dan orang-orang sezaman dengannya.
Ada juga kelompok yang tidak menyukainya, dengan berargumentasi sabda
Rasulullah Saw.: “Di antara keislaman seseorang yang baik adalah
meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat.” (H.r. Ahmad, Abu Ya’la,
Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Mereka mengatakan, bahwa tindakan sama’ tersebut tidak bermanfaat
bagi kami, sebab kami tidak diperintah untuk itu, dan itu tidak bisa
djadikan bekal di alam kubur serta bukan hal yang bisa menyelamatkan di
akhirat, maka mereka tidak menyukainya karena maksud tersebut
.
Sementara kelompok dari orang-orang ma’rifat dan mereka yang telah
mencapai tingkat kesempurnaan juga tidak menyukainya, karena kondisi
spiritual mereka sudah mencapai tingkat istiqamah, waktu-waktunya selalu
dipenuhi dengan ibadah, dzikirnya sudah bersih, rahasia hatinya suci,
hatinya selalu hadir, niatnya terfokus dalam satu tujuan, sementara bila
ada hal-hal baru yang melintas di benaknya mereka akan selalu
memantaunya, mereka tahu dari mana sumbernya dan ke mana arahnya. Pada
diri mereka tidak ada sisa apa pun yang membekas dari apa yang mengetuk
telinganya secara lahiriah, sehingga menembus pada pendengaran batin.
Sebab adanya kontinuitas bermunajat, kelembutan isyarat, halusnya
teguran dan komunikasi, sehingga orang yang duduk bersamanya akan
mengingkari dan tidak mengetahuinya, sementara mereka senantiasa bersama
Allah sekalipun lahiriah mereka bersama makhluk, “ltulah karunia Allah,
yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
No comments:
Post a Comment