Thursday, September 15, 2011

Istidraj



“Takutlah kamu dari wujud kebaikan Allah yang diberikan kepadamu, padahal kamu masih tetap bermaksiat kepada­Nya, yang kelak bisa menjadi istidraj (membiarkan kamu bersenang-senang dalam kenikmatan itu). Seperti firman Allah, “Secara berangsur Kami (Allah) akan mengarahkan mereka kepada kebinasaan, dan arah yang tidak mereka duga.”


Selalu berhati-hati dan kuatir atas perilaku istidraj dengan kenikmatan yang diterima, adalah sifat yang dimiliki oleh orang beriman. Kuatir kalau­-kalau karunia Allah itu adalah semacam istidraj, sebab si hamba tidak mengetahui tentang perbuatannya, apakah diridai atau dimurkai Allah. Sedangkan orang yang tidak merasa kuatir, adalah sifat orang yang ingkar dan bermaksiat terus menerus, ia pun tidak sadar bahwa kenikmatan yang ia peroleh dari Allah (walaupun ia terus menerus berbuat maksiat) adalah suatu istidraj. Kadang-kadang istidraj dari Allah itu diberikan pada manusia setelah ada peringatan dari Allah Ta’ala sendiri. Kemudian Allah Swt. menurunkan siksa-Nya dari arah yang tidak diketahuinya dan tidak dirasakannya.

Orang menerima kenikmatan dari Allah, akan tetapi tidak pandai menggunakan kenikmatan itu untuk mendapatkan keridaan-Nya. Bahkan dipergunakan untuk kemaksiatan. Ia tidak pernah sadar akan perbuatan yang mempergunakan nikrnat Allah itu untuk kesesatan dan kerusakan dirinya sendiri serta melanggar aturan dan hukurn Allah Swt. Ketika or­ang-orang seperti ini telah terlena oleh kemaksiatannya, tidak diduga-duga Allah menurunkan siksanya. Mereka pun tidak diberitahu dan tidak mengetahui dari mana dan di saat apa datangnya. Allah Swt. mengingatkan dalam Al Qur’an surat Al An’am ayat 44, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan Allah kepada mereka. Kami (Allah)pun rnembuka semua pintu kesenangan untuk mereka. Tatkala mereka sedang bergembira ria dengan kenikmatan itu, mereka pun lupa daratan tidak diduga-­duga dengan sekonyong-konyong, Kami turunkan siksaan kepada mereka itu. Waktu itu mereka tidak mampu berbuatapa-apa, lalu terdiam berputus asa. “

Orang-orang istidraj ini dijelaskan oleh Al-Qur’an surat Al A’raf ayat 186, ‘Mereka yang suka mendustakan ayat-ayat Kami kelak Kami (Allah) akan menarik mereka, berangsur-angsur ke lembah kebinasaan, dengan cara yang tidak mereka pahami ” Dalam surat Al A’raf diingatkan lagi oleh Allah Ta’ala, ‘Barangsiapa yang Allah Ta’ala sesatkan,maka tidak ada yang sanggup memberi petunjuk kepadanya. Allah akan membiarkan mereka terombang­-ambing dalam kesesatan. “

Syekh Ahmad Ataillah melanjutkan penjelasannya yang berkaitan dengan istidraj ini, ia berkata, “Di antara orang yang berkehendak mendekati Allah dalam makrifatnya, yang bodoh, adalah orang yang buruk budi pekertinya,” apabila ditangguhkan hukuman kepadanya, ia berkata, “Andaikata semua ini termasuk dosa, maka sudah tentu Allah Ta’ala telah memutuskan bantuan kepadaku yang menyebabkan aku jauh dari-Nya. Jika pertolongan-Nya itu telah diputuskan dariku, dengan cara aku tidak mengetahuinya, walaupun dengan tidak memberi tambahan baru. Atau kadang-kadang diberikan di tempat yang jauh, sedangkan ia sendiri tidak merasa, atau membiarkan engkau tetap mengikuti hawa nafsu.”

Ketika Allah Swt. memperingati seseorang tentang dirinya dalam hubungan dengan Allah Swt., berarti Allah Ta’ala telah menunjukkan belas kasih-Nya kepada orang tersebut. Adalah suatu pertanda bagi si hamba, agar ia cepat sadar, agar wajib merubah jalan hidupnya kepada yang diridai oleh Allah Swt. Si hamba hendaklah secepat mungkin menadahkan, tangannya untuk menerima hidayah dan taufiq Allah Azza wa Jalla yang akan dilimpahkan kepadanya.

Ada beberapa tanda yang dapat menjadi isyarat bagi seorang hamba yang telah menerima hidayah dan taufiq dari Allah Ta’ala, di antaranya: “Dalam segala persoalan yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah, ia selalu mendapat taufiq, hingga mudah mengerjakannya.” la selalu mendapat kesempatan baik dan kelonggaran waktu untuk mencapai keridaan Allah dengan bermacam-macam amal ibadah. Selain itu si hamba selalu terhindar dari perbuatan maksiat ketika kakinya hendak tergelincir, atau kadang-kadang berkeinginan untuk perbuatan itu. Pemikirannya dari kehendak dunia, serta mudah baginya. Yaitu untuk mendapatkannya apabila berkehendak untuk itu.

Sebaliknya, apabila seorang hamba telah diberi kesempatan oleh Allah Swt. untuk datang kepada-Nya, sedang ia mengetahui adanya isyarat Allah itu, akan tetapi ia makin menjauhi isyarat tersebut, bahkan ia enggan melaksanakan apa yang diharapkan bagi seorang hamba, maka si hamba telah kehilangan cahaya yang sebenarnya akan memberi petunjuk jalan baginya mencapai mardatillah, namun ia tidak berusaha mendekatinya.

Orang seperti ini apabila tidak cepat-cepat mendapat hidayah dan taufiq dari Allah Swt, maka akan mendapat kesukaran melakukan hubungan dengan.Allah, dalam bentuk ibadah dan amal, walaupun ia berniat dan berusaha untuk mendekati dan melaksanakan ibadah. Demikian juqa mudah baginya tergelincir kepada perbuatan terlarang, berupa maksiat. seperti perbuatan zina, berjudi, minum khamar, menipu, dan pekerjaan yang mendatangkan bahaya bagi dirinya dan merusak masyarakat. Si hamba dalam menghadapi persoalan seperti ini, kadang-kadang ia sadar dan berusaha menjauhi dan menghindarinya, akan tetapi ia kehilangan kekuatan untuk meninggalkannya. Pintu tempat ia masuk menghubungkan dirinya dan menyampaikan hajatnya kepada Allah tertutup rapat, karena ia tidak merasa memerlukan bantuan Allah Ta’ala dalam masalah yang diperlukannya.

Para Sufiyah mengingatkan pula kepada hamba Allah tentang adab yang perlu dimiliki dan menjadi hiasan hidup orang beriman, baik terhadap Allah maupun dengan sesama manusia. Adab itu juga mampu memberi kekuatan kepada manusia agar lebih dekat kepada Allah, termasuk kekuatan untuk menghindari maksiat. Mereka mengingatkan: “Dalam semua persoalan selalu ada adabnya. Bagi waktu ada adabnya, tiap hal dan tempat ada adabnya, sehingga orang yang membiasakan dirinya dengan adab, ia akan sampai kepada kehendak yang dicarinya, ia akan jauh dari perbuatan yang menghinanya. Adab bagi seorang hamba akan menghiasi pribadinya dan mendidik jiwa dan akhalaknya. Nabi Muhammad Saw. pun mengingatkan dalam sabda beliau, “Addabani Rabbi fa ahsana to’dibi Summa amarani bimakarimil akhlaq (Tuhanku telah mendidikku dengan didikan yang sangat-baik, kemudian menyuruh aku berakhlak Mulia.”

Adab kepada sesama manusia dan sesama hamba Alah, akan memberi jalan keluar kepada manusia dalam hal-hal yang  menyulitkannya. Ia akan terhindar dari manusia jahil yang umumnya suka mempengaruhi manusia untuk berbuat maksiat. AIIah Ta’aIa berfirman. “Berilah maaf, anjurkanlah kepada perbuatan baik (amalan taat) dan jauhilah orang-orang yang bodoh”

Untuk mencapai tingkat kesempurnaan hidup yang dikehendaki Allah Ta’ala, dengan adab dan akhlak mulia, serta ketaatan, sehingga seorang hamba mendapatkan taufiq Allah, maka diperlukan riyadah dan mujahadah. Menghidupkan amal riyadah dan mujahadah dalam diri seorang hamba, agar ia mampu mendekati Allah dalam taqarub yang lebih berarti daripada sernata-mata mengingat. Taqarub berarti usaha untuk mencapai Allah Swt terus menerus sampai cahaya Allah datang kepadanya, lalu memberinya kekuatan yang mampu memimpin dirinya kepada Allah, dan memimpin dirinya agar terhindar dari kemurkaan Allah Swt.

No comments:

Post a Comment