Thursday, January 8, 2015

Spiritualitas VS Rutinitas


Malam itu suasana sepi, udara dingin karena sejak sore hujan turun tanpa henti sampai dengan azan Isya. Kebetulan bukan malam wirid (Selasa dan Jum’at), jadi di mesjid disamping rumah Guru Sufi jamaah shalat Isya hanya sekitar 40 orang yaitu anak muda yang memang tinggal bersama dengan Guru Sufi untuk belajar ilmu tarekat. Setelah azan isya, Guru Sufi masuk ke dalam mesjid lewat pintu dekat qubah, dan murid-murid terkejut karena selama ini jarang Guru shalat jamaah bersama mereka, sudah 3 bulan Guru berada di luar kota untuk berdakwah, menjadi imam shalat biasanya sesame mereka bergantian.
Shalat Isya malam itu terasa beda, tenang, sejuk dan beberapa orang jamaah menangis ketika Guru Sufi mulai membaca surah al-fatihah. Seperti shalat isya pada umumnya, 4 rakaat dilewati seperti biasa sampai dengan salam. Setelah selesai shalat, ada suatu yang beda dan mereka saling melirik satu sama lain. Mereka semua mendengar suara azan di mesjid luar, padahal azan isya sudah lama selesai. Salah seorang jamaah melihat jam yang terpampang di sudut kanan mesjid, dan dia kaget karena jam menunjukkan sudah masuk waktu shalat subuh. Berarti azan yang terdengar di mesjid sekitar itu adalah azan subuh. Bagaimana mungkin sudah masuk subuh, padahal mereka baru saja shalat Isya bersama Guru Sufi, paling sekitar 15 menit lamanya.
Selesai berdoa, Guru berhadapan dengan para murid, kesempatan mereka untuk menyalami Beliau dan murid-murid berebut menyalami Gurunya. Salah seorang murid ketika salaman memberanikan diri bertanya kepada Gurunya, “Guru, berarti kita tadi baru saja melakukan Mikraj ya?”, Guru kemudian mengangkat jari telunjuk ke bibir, “ssst…”, “Apa yang kalian alami mala mini tidak usah diceritakan, cukup untuk kalian saja”. Akhirnya Guru Sufi melanjutkan mengimami shalat subuh beserta murid-muridnya dengan wudhuk shalat Isya, peristiwa yang terasa 15 menit ternyata berlangsung selama lebih kurang 8 jam.
Saya bersyukur bisa mendengar cerita langsung dari orang yang mengalami peristiwa lebih kurang 30 tahun lalu, peristiwa shalat Isya yang luar biasa, mengandung nilai-nilai spiritual dan mistik Islam. Nabi mengatakan bahwa shalat sebagai mi’rajul mu’minin (Hadist Riwayat Bukhari) yakni Mi’raj orang yang beriman. Shalat pada awalnya adalah peristiwa spiritual, sarat makna dan nilai, seiring berjalan waktu menjadi sebuah rutinitas layaknya mandi, makan dan berpakaian yang dilakukan sehari-hari dan di ulang-ulang.
Bagaimana shalat yang merupakan kegiatan spiritualitas bisa tetap mempunyai nilai yang sama? Diperlukan seorang yang mempunyai kontak langsung dengan Rasullullah SAW sebagai orang yang pertama sekali menerima perintah shalat, kontak langsung secara rohani tersebut akan membuka alam Rabbaniyah, sehingga ketika shalat rohani orang yang melaksanakan shalat bisa langsung sampai kehadirat Allah SWT, walaupun shalat dilakukan dalam jumlah banyak tetap menjadi nilai spiritual disana. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang kamu apabila dia berdiri waktu shalat ia berbicara dengan Tuhannya atau Tuhan ada antara dia dengan kiblat”. Tanpa menyadari kehadiran Allah SWT diantara dia dengan kiblat, maka shalat akan menjadi sebuah rutinitas, hanya memenuhi kewajiban semata.
Hilangnya nilai spiritual dalam ibadah tidak semata karena sering melakukan tapi memang unsure-unsur Ketuhanan telah hilang dalam ibadah terebut karena tidak menggunakan metode yang tepat. Sebagai contoh ibadah haji, hakikatnya adalah ziarah ke makam Nabi, berjumpa dengan Beliau kemudian wuquf (menunggu) kehadiran Allah di padang Arafah. Banyak pengamalan tarekat mengalami peristiwa menakjubkan, ketika mengucapkan salam di makam Nabi, terdengar jawaban dari dalam makam, ketika menunggu di padang arafah, dalam tangisan mereka menyadari kehadiran Allah sangat dekat dengan meraka. Diantara 2 juta orang yang melaksanakan ibadah haji sebagai tamu Allah, berapa orang yang beruntung bisa berjumpa dengan yang mengundang?
Nilai-nilai spiritual dalam ibadah secara perlahan akan hilang diganti dengan nilai rutinitas, apalagi shalat memang dilaksanakan sehari 5 kali, sehingga tidak ada lagi “rasa” disana. Namun bagi hamba Allah yang sudah mengenal-Nya, maka shalat bukan rutinitas, tapi peristiwa penuh keajaiban, karena disitulah saat Allah menerima secara khusus hamba-Nya, berdialog dengan mesra dan disana terjadi transfer power dari alam Maha Dahsyat kepada hamba yang lema dhaif lagi papa, sehingga seluruh tubuh si hamba bersinar terang dan malaikat pun silau memandangnya.
Ketika ibadah telah hilang nilai spiritualitas dan tertinggal hanya rutinitas tanpa makna, saatnya untuk memeriksa kembali ibadah yang kita lakukan, memperbaiki kekurangannya. Saatnya kita belajar kepada orang yang bisa mentransfer nilai-nilai spiritual dalam ibadah langsung dari Rasulullah SAW, orang tersebut tidak lain adalah Para Guru Yang Mulia, Pewaris Rasulullah SAW.

No comments:

Post a Comment