Dikisahkan bahwa ada seorang Nabi melakukan ibadah di sebuah gunung yang berdekatan dengan sebuah mata air. Kemudian lewatlah seorang penunggang kuda dan singgah sebentar untuk minum dari mata air tersebut. Kemudian karena terburu-buru, kantung uangnya yang berisi seribu dinar tertinggal disitu.
Tidak lama berselang datanglah orang lain lagi untuk minum, lalu ia mendapati kantung uang si penunggang kuda itu dan kemudian membawanya pergi. Berikutnya tibalah seorang lelaki miskin yang memikul seikat kayu bakar. Ia minum dan setelah itu ia berbaring untuk melepaskan lelah. Tiba-tiba datanglah si penunggang kuda untuk mengambil kantung uangnya yang tertinggal namun ia tidak mendapati kantung uangnya disitu.
Karena tidak menemukan uangnya, sementara yang masih ada didekatnya adalah si miskin tersebut, si penunggang kuda menuduh dan menuntutnya untuk mengembalikan uangnya, ia terus memeriksa dan menyiksanya, namun demikian ia tetap tidak mendapatkan uangnya, akhirnya si pembawa kayu bakar itupun dibunuhnya.
Menyaksikan peristiwa tersebut, Nabi yang sedang melakukan ibadah itu berseru kepada Allah Ta’ala,“wahai Rabbku, ada apa ini ? Yang mengambil kantung uang seribu dinar adalah orang lain. Namun mengapa Engkau menjadikan si penunggang kuda itu menzalimi si miskin tersebut hingga ia membunuhnya.”
Lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya,
”Bersibuk-sibuklah kamu dengan ibadahmu ! Mengetahui rahasia-rahasia Sang Maha Penguasa itu bukanlah urusanmu; si miskin pembawa kayu bakar itu telah membunuh ayah si penunggang kuda, karenanya Aku menempatkannya untuk mendapat qishash [balasan] daripadanya. Sedangkan ayah si penunggang kuda itu telah mengambil seribu dinar dari dari harta milik orangtua dari yang mengambil kantung uang itu dan Aku mengembalikannya sebagai warisannya.”
Manusia akan selalu bertanya-tanya, “Mengapa dan bagaimana ?“ sampai saatnya ia ridha kepada apa-apa yang ditentukan Allah Ta’ala di semesta alam-alam ini.
[sumber: Teosofia Al Quran, bab 39. Ridha terhadap Qadha,
terjemahan dari kitab Arba’in fii ushuluddiin Al Ghazali, cetakan Risalah Gusti 1996]
No comments:
Post a Comment