Yang selama ini diyakini orang sebagai kecerdasan dan intelektualitas tidaklah menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan akan dapat membuat pilihan-pilihan yang tepat bagi hidupnya. Tekanan-tekanan dari sekelilingnya memaksa seseorang untuk menafikan nilai-nilai yang jauh lebih mendasar.
Hampir setiap saat dalam kehidupan kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seolah menelusuri jalan, kita akan menjumpai simpangan-simpangan. Ada berbagai hal yang berkecamuk dalam diri kita saat itu, namun sulit sekali menyusun persoalan itu menjadi pilihan-pilihan yang sistematis. Akibatnya, justru perasaan dan emosi sesaatlah yang muncul sebagai ekspresi.
Seperti kalau kita lapar, ya harus makan. Namun syariat belumlah segalanya. Dalam soal makan sebagai pemenuhan rasa lapar, masih harus dilihat lagi lebih mendalam. Benarkah kita lapar? Ataukah hanya "lapar mata"? Atau semata-mata karena kebiasaan kita harus makan pada jam tertentu? Kemudian jika kita benar-benar lapar, apakah lalu sembarang makanan bisa dan boleh kita makan? Lalu, hakikat makan itu untuk apa? Apakah hanya sekedar pemenuhan nafsu lapar saja?
Betapa banyak persoalan di sekeliling kita yang membuat manusia-manusia kebingungan, tersandung-sandung, dan akhirnya terjerembab. Yang selama ini diyakini orang sebagai kecerdasan dan intelektualitas tidaklah menjadi jaminan bahwa yang bersangkutan akan dapat membuat pilihan-pilihan yang tepat bagi hidupnya. Tekanan-tekanan dari sekelilingnya memaksa seseorang untuk menafikan nilai-nilai yang jauh lebih mendasar. Seringkali rasa iba dan kasihan menjerumuskan orang untuk memilih hal yang salah.
Kata kasihan lebih berkonotasi pada objek. Misalnya sering kita dengar ungkapan, "Saya kasihan pada DIA. Karena DIA begitu sedih dan menderita" et cetera, et cetera. Jadi pertimbangan "Saya" dalam hal ini lebih didasari oleh faktor "Dia". Celakanya, pertimbangan itupun tidak sampai masuk pada akar masalah: Mengapa si "Dia" ini sedih atau menderita?
Mengapa hal-hal ini terjadi? Baik si subjek (saya) maupun si objek (dia) sama-sama tidak memiliki Kesadaran ("K" besar). Inilah akibatnya bila manusia tidak tahu filsafat. Manusia jaman sekarang lebih memilih cabang-cabang (furu', fakultas) yang berupa ilmu pengetahuan praktis tanpa menguasai pokoknya (ushul, universitas) yaitu filsafat. Banyak yang bilang mereka lulusan "universitas" anu, padahal mereka hanya jebolan "fakultas" anu. Apabila mereka benar-benar lulusan "universitas" maka mereka akan dapat menjelaskan letak relatif cabang ilmu pengetahuan yang mereka kuasai (baca: fakultas) dalam konteks kehidupan manusia ini (universitas). Dengan demikian mereka menyadari kerentanan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai.
Awalnya seseorang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun kemudian kebutuhan yang lebih penting lagi mencengkeram hidupnya: yaitu kebutuhan untuk diakui dan dihargai oleh manusia lain. Kadang-kadang dengan alasan yang tidak masuk akal, bahwa "dengan dihargai oleh orang lain maka hidupmu akan lebih baik. Usahamu untuk memenuhi kebutuhan dasarmupun akan berjalan lancar dengan adanya perhargaan itu". Atau nasihat orangtua, "belajar yang rajin, agar kelak jadi pintar. Supaya orang lain menghargaimu".
Betapa sesatnya pandangan ini. Tanpa melihat lagi orang yang mana yang akan menghargai kita. Maka sangat masuk akal apabila di kalangan masyarakat yang hedonis macam begini, agama hanya jadi ritual saja. Allah turun pangkat jadi berhala. Sementara berhala-berhala baru menjadi tuhan mereka. Gelar, pangkat, kekayaan, anak, kekuasaan, ilmu, produk-produk manusia seperti mobil, rumah, perangkat telekomunikasi, kartu kredit, jadi tuhan baru. Lingkungan masyarakat jadi Tuhan baru, karena bila seseorang masuk dan diterima kalangan tertentu maka ia akan merasa bangga.
Padahal masyarakat kita sekarang MENGHARGAI seseorang karena penguasaan CABANG ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya, "Wah, dia itu seorang insinyur, lho". Dalam hal ini pandangan masyarakat bahwa gelar itu demikian hebat adalah sangat sesat dan menyesatkan. Dalam praktek, tiap orang juga tahu bahwa insinyur bangkotan pun tak dapat menghasilkan karya secara mandiri hingga dapat menjadi maslahat bagi manusia lain tanpa adanya cabang ilmu lainnya seperti ilmu sosial, misalnya. Apakah akan jadi kemaslahatan dan keberkahan apabila ada karya rancang bangun yang hebat tapi didirikan di atas lahan hasil penggusuran massal, dengan iringan ratap tangis dan penderitaan penghuni lahan sebelumnya?
"Berapa lama lagi kita akan bernafas ?"
Setelah itu ............
Wahai kita yang menzalimi diri sendiri serta orang lain dan alam semesta, semua yang kita upayakan di atas tadi sebentar lagi tak ada artinya lagi.
Kita semuanya hanya akan makan tanah !!! Semua jerih payah selama puluhan tahun ternyata hanya bermanfaat beberapa tahun saja.
Setelah itu ?
Begitu kita dimasukkan ke rumah yang cuma satu kali dua meter tanpa perabotan itu, takkan ada lagi waktu untuk menyesali atau kesempatan untuk memperbaiki. Siapakah di antara kita yang mengaku pintar, cerdas, intelek, berkuasa, berpangkat, yang mampu menjawab pertanyaan,
"Berapa lama lagi kita akan bernafas?"
Mudah-mudahan Allah azza wa jalla memberi kita hidayah untuk memilih jalan mana yang akan kita tempuh sepanjang sisa hidup ini. [ ]
No comments:
Post a Comment