Pembicaraan tentang lebih dulu mana antara "Doa dan Ikhtiar"
seorang manusia dalam kehidupannya menjadi topik yang hangat di
kalangan santri di Padepokan , sehingga ketika ada suatu kesempatan
bercengkrama dengan Sang Guru , salah seorang santri menanyakannya
kepada Sang Guru.
Santri: Guru, dalam
menghadapi suatu masalah, manakah sikap yang sebaiknya kita ambil,
berikhtiar dulu semampu kita lalu menyempurnakannya dengan berdoa?
Ataukah Berdoa dulu dengan keyakinan kemudian dilanjutkan dengan ikhtiar
kita?
Guru: Pertanyaan
yang bagus … Memang dalam sejarah hidup manusia, pertanyaan itu
senantiasa muncul di kalangan umat, namun ketika seseorang sudah
mencapai kesempurnaan dalam hikmah kehidupan, niscaya dia akan mengerti
tentang persoalan tersebut dengan segala variasinya.
Sebenarnya
kedua sikap itu sama-sama benar, hanya saja masing-masing memiliki
sebab dan kondisi yang berbeda yang Allah paksakan supaya kita melakukan
itu.
Ketika kita
berada pada kondisi kesadaran bahwa kemampuan kita ini yang merupakan
'pinjaman serta titipan' dari Kemampuan Allah yang hendaknya kita
gunakan secara optimal untuk menyelesaikan permasalahan kita, maka kita
akan bersikap mengupayakan ikhtiar dulu secara optimal, baru setelah itu
menyempurnakannya dengan doa. Kita saat itu menyadari bahwa sempurnanya
doa kita memerlukan syarat ikhtiar dulu. Maka kita akan berusaha sekuat
tenaga kita untuk berikhtiar dulu baru kemudian berdoa.
Sementara
pada kondisi yang lain, ketika pengenalan kita terhadap Allah yang
melingkupi semua aspek Af'al (Perbuatan-perbuatan), Asma (Nama-nama),
Shifat (Sifat) serta Dzat-Nya sedang menguat sedemikian sehingga
menyebabkan kita menyadari dan meyakini bahwa ternyata Wujud Dia-lah
satu-satunya sumber dari segala daya dan kemampuan di semesta alam ini,
termasuk kemampuan kita awalnya berasal dari pelimpahan Kemampuan
dari-Nya, maka sebuah doa yang kita lantunkan dengan keyakinan tinggi,
merupakan awal dari ikhtiar kita dalam kehidupan.Di sini,
sempurnanya doa kita bersumber dari kesadaran akan posisi kita sebagai
ciptaan yang lemah tanpa daya, berhadapan dengan Dia Sang Pencipta yang
Maha Rahman, Pemelihara yang sempurna.
Santri: Lalu bagaimana caranya kita bisa mengetahui kita sedang berada pada kondisi yang mana dari kedua hal di atas Guru?
Guru:
Dalam hidup ini kita harus selalu melatih diri untuk senantiasa melihat
peristiwa keluar , maupun ke dalam diri kita dan hendaknya kita JUJUR serta dapat "Menyelelaraskan"
keduanya. Dengan kejujuran pada diri sendirilah kita secara bertahap
akan mengetahui, kondisi obyektif kesadaran dan keyakinan kita terhadap
hidup dan Dia Yang Maha Hidup, Pengelola kehidupan dan segala hakikat
kehidupan ini. Secara bertahap kita akan dapat mengetahui tahap
Kesadaran batin apa yang kita miliki.
Untuk itu
kita hendaknya senantiasanya meningkatkan Pengetahuan dan Pengenalan
kita terhadap Allah Rabb al-Alamin, serta mencermati suasana batin kita
dalam merespons bertambahnya pengetahuan tersebut.
Santri: Maksudnya bagaimana Guru?
Guru:
Karena antara pengetahuan dan sikap batin kita adalah dua hal yang
berbeda, maka meningkatkan pengetahuan adalah satu hal, sedangkan
mengendalikan sikap batin adalah hal yang lain lagi. Kita
bisa saja memiliki pengetahuan tentang Tauhid yang paripurna karena
pengetahuan itu bisa dipelajari. Tetapi, pada saat yang sama karena kita
tidak bisa memenangkan pertempuran keyakinan dan dalam batin kita, bisa
saja keyakinan kita tentang Allah sebagai sumber dari segala sesuatu
(kondisi, masalah, kekuatan, rezeki, dsb.) lemah, akibatnya kita
lebih khawatir terhadap kondisi yang akan menimpa kita dari pada yakin
bahwa semua kondisi yang kita hadapi adalah seizin Allah .
Mari
coba kita aplikasikan pada persoalan sehari-hari kita. Misalnya kita
seorang sarjana S-1 Teknik Elektronika yang baru lulus dan belum
memperoleh pekerjaan. Ayat-ayat Al-Quran tentang Allah sebagai sumber
rezeki sudah berkali-kali kita baca, mengerti bahkan kita hafal. Tetapi
soal memenangkan pertempuran batin akan kecemasan masa depan ekonomi dan
status kita adalah dipengaruhi oleh seberapa pengetahuan kita tentang
Allah itu meresap di dalam batin kita.
Pikiran kita yang
logis membuat pengetahuan yang benar kita pahami, tetapi dzikr serta
kesadaran batin pengakuan kita terhadap kesempurnaan Allah-lah yang
mempengaruhi kemenangan batin kita untuk meyakini sesuatu yang kita
pahami.
Bila kita membiasakan bertindak demikian dalam hidup ini, maka secara bertahap keyakinan kita terhadap ayat-ayat berikut ini Insya Allah akan Allah kuatkan:
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa."(QS Thaaha 20: 132)
"Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),"(QS.Al-Mu'min 40:51)
"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,'Sesungguhnya segala sesuat berasal dari Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kembalinya segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah 2: 155-156)
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."(QS. Al-Baqarah 2: 115)
Semoga uraianku ini bisa kaumengerti, dan kita dapat bersikap sesuai dengan kapasitas keyakinan. Yang
penting kita jujurlah pada diri sendiri, dan jangan membiasakan menilai
tindakan orang lain dengan kacamata kita, sebab sesungguhnya lapis demi
lapis kebenaran dan hikmah itu sedemikian lebar dan di luar jangkauan
nalar kita yang sangat terbatas ini.
Santri:
Baik Guru, semoga Allah membimbing kami dalam memahami serta
mengamalkan doa dan ikhtiar secara benar. Terimakasih atas penjelasan
Guru…
Guru: Alhamdulillahi Rabbil Alamiin…
No comments:
Post a Comment