Sejak kecil, begitu akrab di telinga kita yang menyebut bahwa Allah
itu gaib. Bahkan sering orang menegaskan; "terserah yang gaib-lah!", dan
sebagainya. Konotasi gaib karena Allah tidak bisa dilihat secara kasat
mata oleh kita dan kelak kegaiban Allah sejajar dengan kegaiban hal-hal
gaib lain.
Padahal, tidak satu pun asma dan Asmaul Husna
(nama-nama agung Allah) yang menyebut bahwa Allah itu gaib, tahu
bersifat gaib, atau punya nama al Gaibu di Asmaul Husna.
Tidak ada.
Kegaiban
Allah itu muncul hanya karena kegelapan kosmos spiritual kita saja yang
membuat diri kita terhalang melihat Allah Yang Maha Nyata, Maha Jelas,
Maha Dzohir, Maha Batin, Maha Terang Benderang, dan Pemilik segala Maha.
Sesungguhnya,
tak satu pun di jagad semesta ini yang bisa menutupi Allah. Kita
mengatakan Allah itu gaib hanya karena menutup diri sendiri saja
sehingga tidak bisa melihat Allah. Oleh karenanya Ibnu Athaillah as
Sakandary dalam kitab Al-Hikam menegaskan: Bagaimana bisa terbayang ada
sesuatu yang menutupi Allah, padahal Dia tampak pada segala sesuatu.
Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu menutupi Allah, sedangkan Allah
tampak di setiap sesuatu. Bagaimana bisa dibayangkan sesuatu bisa
menutupi Allah, padahal Allah itulah yang hadir untuk segala sesuatu.
Bagaimana dapat dibayangkan jika sesuatu itu menutup Allah, sedang Allah
sudah ada sebelum segala sesuatunya ada.
Bagaimana segala
sesuatu menutup Allah, sedangkan Allah itu lebih jelas ketimbang
segalanya. Dia adalah Yang Maha Esa. Tak ada yang menandingi dan
menyamai-Nya. Dia lebih dekat dari urat nadi Anda sekali pun.
Wacana
di atas mempertegas betapa Allah itu tidak gaib. Yang gaib justru hawa
nafsu kita ini. Manakala kita tidak bisa melihat Allah di balik jagad
semesta ini, berarti mata hati kita sedang dikaburkan untuk melihat
nurullah (cahaya Allah). Sebab itu, kita harus melihat Allah di
mana-mana, kapan saja tiada batas waktu terhingga.
Nurullah
adalah awal dari muroqobah kita dan muraqobah adalah awal dan
musyahadah (penyaksian Allah dalam jiwa), dan kelak baru mengenal Allah
dalam arti yang sesungguhnya. Inilah ma'rifatullah.
No comments:
Post a Comment