Dalam pandangan kaum sufi, keadaan mistis (hal) berarti kejadian tersembunyi yang datang dari alam lebih tinggi, kadangkadang turun ke hati penempuh jalan sufi, datang dan pergi, sampai ketertarikan Ilahi membawanya dari tahapan paling rendah menuju tahapan paling tinggi. Kedudukan (maqam) bermakna tingkatan Jalan yang ditempuh oleh sang penempuh jalan sufi, menjadi tempat berdiri baginya, dan tidak merosot. Hal (yang berkaitan dengan titik tertinggi) tidaklah dikuasai oleh sang penempuh jalan sufi, tetapi justru hal ini yang menguasai diri sang penempuh jalan sufi. Maqam (yang berkaitan dengan titik terendah) adalah tempat yang dikuasai sang penempuh jalan sufi.
Kaum sufi mengatakan, “Hal adalah anugerah (mawhab), dan maqam adalah perolehan (kasb).” Tak ada maqam yang tidak dimasuki hal; dan tidak ada hal yang terpisah dari kesatuan dengan maqam. Tentang hal dan maqam, sumber perselisihan adalah bahwa sebagian syaikh sufi menyebut ini hal; dan sebagian lagi, maqam. Sebab, semula seluruh maqam adalah hal; Dan akhirnya adalah maqam, seperti tobat (tawbah), mawas diri (muhasabah), dan renungan disertai rasa takut (muraqabah). Semula, masing-masing adalah sebuah hal yang mengalami perubahan dan penurunan; dan ketika mendekati perolehan (kasb), la menjadi maqam; segenap hal diterangi oleh berbagai perolehan (makasib) dan segenap maqdm oleh berbagai anugerah (mawahib). Dalam hal, anugerah bersifat lahiriah, perolehan bersifat batiniah: dalam maqam, perolehan bersifat lahiriah, dan anugerah bersifat batiniah.
Syaikh-syaikh dari Khurasan mengatakan, “Hal adalah warisan amal.” `Ali ibn Abi Thalib mengungkapkan, “Jangan tanyakan kepadaku tentang jalan kesatuan dengan hal (yang melalui keluhuran berhubungan dengan langit).”
Berbagai maqam itu adalah: tobat (tawbah), kezuhudan (zuhd), kesabaran (shabr), dan sebagainya. Semuanya ini adalah sarana bagi turunnya hal.
Beberapa syaikh menegaskan:
a) bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat. Ia muncul seperti kilat dan segera hilang. Jika berbekas, la menjadi hadits an-nafs;
b) bahwa selama tidak berbekas, maka yang demikian itu bukan hal. Sebab, diam memerlukan ketetapan; bahwa sesuatu yang berkilau seperti kilat dan kemudian padam sesungguhnya bukanlah hal. Inilah tarekat keagamaan Syaikh Syihabuddin Suhrawardi.
Jika hal berbekas, maka la bukanlah sumber hadits an-nafs. Sumbernya adalah hal lemah, yang, sewaktu berkilau, dikuasai oleh nafs; hal yang kuat tidak pernah terbiasa dengan nafs. Mereka menyebut setiap kejadian yang berkilau seperti kilat dan padam dalam hal dalam idiom sufi sebagai jelas (la’ih), berkilau (lamih), terbit (thali`), meledak (thariq), dan tampak (badih). Manifestasinya diikuti dengan penyembunyian. Demikianlah apa yang dikatakan oleh Abu `Utsman Ha’iri.
Ini mengisyaratkan pada keridhaan (ridha) yang terus-menerus, dan keridhaan yang pasti berasal dari semua hal. Kemudian, hal yang terus-menerus tidaklah perlu bagi hadits an-nafs. Mungkinkah meninggalkan satu maqam (yakni, tempat berpijaknya) sebelum beranjak ke tahapan lebih tinggi? Junayd mengatakan, “Mungkin saja bagi seorang hamba untuk naik ke hal yang lebih tinggi sebelum hal pertama selesai dirampungkannya. Lalu, la beroleh informasi tentang hal pertama dan memperbaikinya.”
Abdullah Anshari mengatakan, “Mustahil bagi seorang penempuh jalan sufi memperbaiki suatu maqam sebelum ia melihat maqam yang lebih rendah dari maqam yang lebih tinggi, beroleh informasi tentangnya, dan lalu memperbaikinya.”
Syaikh Syihabuddin Suhrawardi mengatakan, “Tidaklah mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam (yakni, tempat berpijaknya) sebelumnya. Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqam-nya menjadi kenyataan. Karena itu, kenaikannya dari satu maqam ke maqam lainnya terjadi disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerah-Nya, dan bukan oleh usahanya sendiri. Sepanjang bukan dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, maka kenaikan dan kemajuan tidak bakal terjadi; tidak ada hal yang turun dari yang lebih tinggi ke yang lebih rendah.”
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seorang hamba haruslah mendekati Allah agar Dia mendekati sang hamba.
Sumber: Awarif Al-Ma’arif
No comments:
Post a Comment