Thursday, December 17, 2015

Malu Meminta Kepada Allah



“Terkadang sang ‘arif merasa malu jika mengajukan kebutuhannya kepada Tuhannya, semata karena merasa cukup dengan kehendakNya. Bagaimana tidak malu, jika ia harus mengungkapkan kebutuhannya pada sesama makhluk?”

Menyampaikan hajat-hajatnya kepada Allah Swt, bagi si Arif sesungguhnya sebagai bentuk ‘ubudiyah, bukan sebagai permintaan atau penyodoran masalah. Sebab kehendak Allah Swt tetap mendahului permintaan dan doanya. Sehingga mereka lebih memasrahkan diri pada kehendakNya dibanding permintaan kebutuhannya.

Tentu jika mereka malu mengungkapkan kebutuhan hidupnya, ia pasti lebih malu jika mengungkapkan kebutuhannya pada sesama makhluk.

Inilah cara mereka menjaga adab, dan sebagai sang arif ia terus menjaga rasa fakirnya kepada Allah Swt, bukan pada sesama, karena Allah-lah Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji.

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq ra mengatakan, “Tanda-tanda ma’rifat adalah anda tidak meminta kebutuhan anda, baik kebutuhan dalam jumlah kecil maupun besar, kecuali semua itu dari Allah Swt, sebagaimana Nabi Musa as, rindu untuk melihat Allah Swt, ia berdoa, "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada  Engkau." (QS. Al-A’raf 143), dan suatu ketika ia sangat butuh roti, lalu dia berkata, “Ya Tuhan, sesungguhnya diriku sangat memerlukan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al Qashash 24)

Sang arif lebih sibuk untuk dzikir kepadaNya dibanding memintaNya, sebagaimana dinyatakan oleh Allah Swt dalam hadits Qudsy. Namun, ketika para arif berdoa dan meminta, hanya semata sebagai wujud kehambaannya, bahwa ia harus menjaga kefakiran, rasa hina dina, ketakberdayaan dan ketakpampuan di hadapanNya.

Dalam konteks inilah Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily ra, mengatakan, “Aku tak mampu memberi manfaat untuk diriku sendiri, bagaimana aku tidak putus asa mencari manfaat orang lain bagi diriku? Aku hanya berharap kepada Allah Swt untuk memberi manfaat pada selain diriku, bagaimana aku tidak berharap kepadaNya untuk manfaat diriku? Inilah kimia dan remuk redam, yang siapa pun meraihnya ia meraih kekayaan yang tiada lagi rasa butuh setelah itu, kemuliaan yang tiada lagi rasahina menyertainya, dan infak baginya yang tiada henti. Inilah kimia bagi mereka yang faham dengan Allah Ta’ala.”

Tentu saja, mereka yang faham Allah, akan cukup bersama Allah sehingga dia kaya raya jiwanya, ia mulia bersama Allah karena kebergantungan pada kemuliaanNya.

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra, mengisahkan, “Suatu hari ada orang yang menemaniku, dan ia sangat membebaniku. Lalu suatu hari aku membuatnya mudah, sehingga ia jadi gamang.

Kukatakan padanya:

“Hai ananda, apa kebutuhanmu dan kenapa kamu menemaniku?”

“Wahai Tuan, ada yang mengatakan padaku kalau Anda sangat pandai dalam bidang Ilmu Kimia. Aku ingin belajar padamu soal itu,” kata orang ini.

“Kamu benar, dan benar pula kawanmu yang bicara padamu itu. Tapi janganlah, kau terima…” kataku.

“Tidak, aku akan menerimanya…”

Lalu kukatakan padanya, “Aku melihat makhluk ini ada dua kelompok. Kelompok pertama adalah para musuh, dan kedua adalah kekasih-kekasih. Ketika aku melihat para musuh, aku akhirnya tahu bahwa mereka tidak mampu mencederai diriku, yang Allah Swt memang tidak menimpakan padaku. Lalu aku putuskan pandanganku pada mereka. Kemudian aku memandang orang-orang tercinta, nyatanya mereka pun tidak ada yang mampu memberi manfaat padaku, dimana Allah Swt memang tidak memberi manfaat padaku. Lalu aku pun memutuskan pandanganku pada mereka, dan aku hanya bergantung pada Allah Swt.”

Tiba-tiba ada kata membisik padaku, “Kamu tidak akan sampai pada hakikat perkara ini, sampai kamu memutuskan harapanmu dari Kami, —sebagaimana kamu memutuskan dari selain Kami, agar orang lain itu memberimu,—  kecuali apa yang telah Kami takdirkan padamu di zaman Azali.”

Maka dalam kesempatan tertentu beliau juga berkata, ketika ditanya mengenai Kimia, “Keluarkanlah makhluk dari hatimu, dan putuslah harapanmu pada hal-hal yang bukan bagianmu.”

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily ra menegaskan, “Standar pemahaman hamba pada Tuhannya, bukan terletak pada banyaknya amal, bukan pula pada langgengnya wirid, namun standarnya adalah sejauh mana ia memahami nur-Nya, dan kefahamannya akan sikap merasa cukup pada Tuhannya, dan semangat hatinya padaNya, kemerdekaannya dari belenggu tamak, lalu berhias dengan hiasan wara’. Karena dengan itu semua amal-amal jadi bagus dan perilaku batin jadi bersih,  sebagaimana firmanNya, “Kami jadikan apa yang ada di muka bumi sebagai hiasan baginya, agar Kami menguji, siapa diantara mereka yang terbaik amalnya.” (QS Al-Kahfi: 7)