Thursday, August 25, 2011

3 x 8 = 23



Yan Hui adalah murid kesayangan Confusius yang suka belajar, sifatnya baik.

Pada suatu hari ketika Yan Hui sedang bertugas, dia melihat satu toko kain sedang dikerumunin banyak orang.

Dia mendekat dan mendapati pembeli dan penjual kain sedang berdebat.

Pembeli berteriak: "3 x 8 = 23, kenapa kamu bilang 24"

Yan Hui mendekati pembeli kain dan berkata: " Sobat, 3x8 = 24, tidak usah diperdebatkan lagi".

Pembeli kain tidak senang lalu menunjuk hidung Yan Hui dan berkata:

"Siapa minta pendapatmu? Kalaupun mau minta pendapat mesti minta ke Confusius. Benar atau salah Confusius yang berhak mengatakan".

Yan Hui: "Baik, jika Confusius bilang kamu salah, bagaimana?"

Pembeli kain: "Kalau Confusius bilang saya salah, kepalaku aku potong untukmu. Kalau kamu yang salah, bagaimana?"

Yan Hui: "Kalau saya yang salah, jabatanku untukmu".

Keduanya sepakat untuk bertaruh, lalu pergi mencari Confusius.

Setelah Confusius tahu duduk persoalannya, Confusius berkata kepada Yan Hui sambil tertawa: "3 x 8 = 23. Yan Hui, kamu kalah. Kasihkan jabatanmu kepada dia.""

Selamanya Yan Hui tidak akan berdebat dengan gurunya.

Ketika mendengar Confusius bilang dia salah, diturunkannya topinya lalu dia berikan kepada pembeli kain.

Orang itu mengambil topi Yan Hui dan berlalu dengan puas. Walaupun Yan Hui menerima penilaian Confusius tapi hatinya tidak sependapat. Dia merasa Confusius sudah tua dan pikun sehingga dia tidak mau lagi belajar darinya.

Yan Hui minta cuti dengan alasan urusan keluarga. Confusius tahu isi hati Yan Hui dan memberi cuti padanya.Sebelum berangkat, Yan Hui pamitan dan Confusius memintanya cepat kembali setelah urusannya selesai,dan memberi Yan Hui 2 (Dua) nasehat : "Bila hujan lebat, janganlah berteduh di bawah pohon. Dan jangan membunuh."

Yan Hui bilang baiklah lalu berangkat pulang. Di dalam perjalanan tiba2 angin kencang disertai petir, kelihatannya sudah mau turun hujan lebat. Yan Hui ingin berlindung di bawah pohon tapi tiba2 ingat nasehat Confusius dan dalam hati berpikir untuk menuruti kata gurunya sekali lagi. Dia meninggalkan pohon itu.

Belum lama dia pergi, petir menyambar dan pohon itu hancur. Yan Hui terkejut, nasehat gurunya yang pertama sudah terbukti.

Apakah saya akan membunuh orang? Yan Hui tiba dirumahnya sudah larut malam dan tidak ingin mengganggu tidur istrinya.

Dia menggunakan pedangnya untuk membuka kamarnya. Sesampai didepan ranjang, dia meraba dan mendapati ada seorang di sisi kiri ranjang dan seorang lagi di sisi kanan. Dia sangat marah, dan mau menghunus pedangnya.

Pada saat mau menghujamkan pedangnya, dia ingat lagi nasehat Confusius, jangan membunuh.

Dia lalu menyalakan lilin dan ternyata yang tidur disamping istrinya adalah adik istrinya.

Pada keesokan harinya, Yan Hui kembali ke Confusius, berlutut dan berkata:

"Guru, bagaimana guru tahu apa yang akan terjadi?"

Confusius berkata: "Kemarin hari sangatlah panas, diperkirakan akan turun hujan petir,makanya guru mengingatkanmu untuk tidak berlindung dibawah pohon.

Kamu kemarin pergi dengan amarah dan membawa pedang, maka guru mengingatkanmu agar jangan membunuh".

Yan Hui berkata: "Guru, perkiraanmu hebat sekali, murid sangatlah kagum".

Confusius bilang: "Aku tahu kamu minta cuti bukanlah karena urusan keluarga. Kamu tidak ingin belajar lagi dariku".

Cobalah kamu pikir. Kemarin guru bilang 3 x 8=23 adalah benar, kamu kalah dan kehilangan jabatanmu.

Tapi jikalau guru bilang 3 x 8=24 adalah benar, si pembeli kainlah yang kalah dan itu berarti akan hilang 1 nyawa.

Menurutmu, jabatanmu lebih penting atau kehilangan 1 nyawa yang lebih penting ?

Yan Hui sadar akan kesalahannya dan berkata : "Guru mementingkan yang lebih utama, murid malah berpikir guru sudah tua dan pikun.

Murid benar2 malu.

Sejak itu, kemanapun Confusius pergi Yan Hui selalu mengikutinya.


Cerita ini mengingatkan kita:

Jikapun aku bertaruh dan memenangkan seluruh dunia, tapi aku kehilangan kamu, apalah artinya.
Dengan kata lain, kamu bertaruh memenangkan apa yang kamu anggap adalah kebenaran, tapi malah kehilangan sesuatu yang lebih penting.

Banyak hal ada kadar kepentingannya. Janganlah gara2 bertaruh mati2an untuk prinsip kebenaran itu, tapi akhirnya malah menyesal, sudahlah terlambat.

Banyak hal sebenarnya tidak perlu dipertaruhkan. Mundur selangkah, malah yang didapat adalah kebaikan bagi semua orang.

Bersikeras melawan pelanggan. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat kita kasih sample barang lagi, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan boss. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Saat penilaian bonus akhir tahun, kita akan mengerti)

Bersikeras melawan istri. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Istri tidak mau menghirau kamu, semua harus "do it yourself")

Bersikeras melawan teman. Kita menang, tapi sebenarnya kalah juga. (Bisa-bisa kita kehilangan seorang teman).



Wednesday, August 24, 2011

CINTA YANG ISTIMEWA UNTUK ORANG YANG LUAR BIASA



BAI FANG LI adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang dijalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.

Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara sedarah. Tapi nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong.Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ketempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu kemulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
"Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya…." jawab anak itu.
"Orang tuamu dimana…?" tanya Bai Fang Li.
"Saya tidak tahu…., ayah ibu saya pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…" sahut anak itu.

Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmmm… tapi masih cukup bagus… gumannya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

"Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…," katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata, "Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan……" katanya dengan sendu.

Semua guru di sekolah itu menangis……..

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.[ ]


Monday, August 22, 2011

TAWA YANG MENUJU TUHAN



Alkisah setelah kehilangan keledainya, Mulla lalu mengangkat kedua tangannya, ia bersyukur kepada Tuhan. “Tuhan, aku bersyukur kepada-Mu, aku telah kehilangan keledaiku.”

Seorang yang melihat dan mendengar doa Mulla bertanya,

“Kamu kehilangan keledaimu, dan kamu bersyukur kepada Tuhan?”

“Aku bersyukur kepada-Nya atas kebijakan-Nya yang mentakdirkan bahwa aku tidak menunggangi keledai waktu itu.
Kalau tidak, sekarang aku tentu hilang juga.”

Anda boleh tersenyum ataupun tidak, melihat keluguan Mulla ini.

Keluguan Mulla adalah ciri lain dari keikhlasannya.

Tidak hanya Mulla atau guru sufi lainnya tapi seperti begitulah cara kaum sufi menempatkan dirinya sebagai makhluk Tuhan.

Dalam sebuah kesempatan kajian tasawuf seorang teman “spiritual” saya berucap sembari bergurau “Hanya ada satu hal yang membedakan antara masyarakat manusia dengan komunitas primata - kera atau gorilla -”

Apa itu ? humor.

Humor adalah ciri khas yang ada pada masyarakat manusia.

Di belahan dunia ini kita bisa cari dimana atau apa ada yang bisa membuktikan
bahwa pada primata (kelompok kera atau gorilla) ada humor, yang kita saksikan hanyalah keseriusan.

Masyarakat gorilla adalah masyarakat tanpa canda dan tawa.

Kalau anda masih bisa tertawa anda masih manusia?

Bagaimana kalau anda yang sering ditertawakan ?

Nah, lanjut kawan saya , sama juga yang membedakan masyarakat awam dengan kaum sufi.

Kalau sufi dianggap sebagai kelompok minoritas ditengah mayoritas Muslim awam - juga adanya humor,
yakni humor sufi.

Melalui humor kaum sufi bercerita tentang kisah-kisah yang tidak saja bisa mentertawakan diri sendiri tapi malah mampu mentertawakan seluruh kehidupan ini.

Buat kaum sufi kehidupan ini adalah sejenis senda gurau,
gurauan yang tidak saja memberitahukan akan makna-makna kegenitan duniawi tapi juga berisi kejenakaan dan kesadaran diri yang ingin menyatu dengan-Nya.

Cerita sufi kadang-kadang menggelitik bahkan cenderung “nakal” tetapi kisah-kisahnya mengajarkan banyak kearifan.

Kearifan memang tidak harus disampaikan dengan kening berkerut, tapi bisa juga disampaikan melalui cerita jenaka.

Kejenakaan humor sufi tidak hanya dipenuhi dengan teori-teori kearifan (hikmah) teoritis,
tetapi humor sufi lebih banyak mengajarkan kearifan praktis yang muncul pada sebagian besar kisah-kisah sufi yang amat masyhur.

Di pasar Mulla melihat orang-orang mengerumuni seekor burung kecil, dan mereka berani membelinya dengan harga yang tinggi.

“Tentu harga burung dan unggas sudah naik,” pikir Mulla.

Dia lalu pulang ke rumah. Setelah dikejar-kejar, akhirnya dia berhasil menangkap kalkunnya yang sudah tua.

Di pasar mereka hanya berani membeli kalkun itu dengan harga dua mata uang perak.

“Itu tidak adil,” kata Mulla,

“Kalkun ini besarnya beberapa kali lipat dari burung yang ditawar dengan harga tinggi itu.”

“Tapi burung itu seekor betet, ia dapat berbicara.”

Mulla memandang sekilas ke arah kalkunnya yang terkantuk-kantuk di tangannya.

“Kalkun ini bisa berpikir!” kata Mulla.

Kaum sufi tidak hanya mampu bercanda dengan diri/manusia tetapi juga mampu “bercanda” dengan dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan.

Cerita sufi adalah cerita yang banyak dihiasi tentang relasi manusia dengan manusia atau hubungan manusia dengan alam, dan dengan Tuhan.

Tidak kita temukan dalam cerita-cerita sufi, para sufi menghindar dari masyarakat manusia, hidup digunung mengasingkan diri, bak para pertapa, “Tidak ada kerahiban dalam Islam”, sabda Nabi saw.

Oleh sebab itulah Syamsi Tabrizi, teman sekaligus guru Rumi berkata:
“Para pertapa yang hidup di gunung merupakan bagian dari gunung, bukan bagian dari manusia. Kalau dia itu manusia, dia akan hidup di antara masyarakat manusia, yang memiliki kesadaran untuk mengenali Allah. Apa yang dilakukan oleh para pertapa di gunung-gunung?

Apa hubungan manusia dengan batu-batu karang dan bebatuan?”

“Beradalah di tengah-tengah manusia, maka kamu dapat sindiran.”

Untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi diperlukan sindiran.

Sindiran-sindiran inilah yang mampu mengungkap “kebenaran” tanpa menyakitkan.

Dalam kerangka mengungkap kebenaran inilah humor sufi diperlukan.

Kadang-kadang kebenaran yang diungkapkan oleh cerita sufi sangat menyegarkan.

Tengoklah cerita berikut ini:

Suatu hari Mulla Nasruddin meminjam jambangan bunga besar dari tetangganya.

Besoknya ia mengembalikan jambangan bunga itu beserta sebuah jambangan bunga kecil.

“Yang kecil ini bukan milik kami,” kata si tetangga.

“Ya, memang,” sahut si Mulla. “Semalam jambanganmu melahirkan yang kecil ini.”

Si tetangga merasa senang dan menerima keduanya.

Beberapa hari kemudian Mulla meminjam jambangan besar lagi, tapi dia tidak mengembalikannya keesokan harinya. Ketika si tetangga datang memintanya, Mulla berkata:

“Malang benar jambangan itu, ia sudah tak ada lagi. Semalam ia telah meninggal dunia.”

“Bicara apa kamu ini?” protes si tetangga.

“Mana mungkin jambangan bunga bisa mati?”

“Yah, mana mungkin jambangan bunga bisa melahirkan, ” jawab Mulla.

Dalam pandangan Soren Keirkegaard,
terkadang ketika kebenaran bertemu dengan kepalsuan hasilnya adalah kelucuan.

Dalam kepalsuan yang lama tersamar humor benar-benar menjelma menjadi kelucuan yang amat sangat.
Soren malah berkata “Ketika muda aku lupa tertawa. Kemudian ketika kubuka kedua mataku dan kulihat realitas . . .
aku mulai bisa tertawa, dan terus tertawa sejak itu.

Berbeda dengan group lawak yang mengemas tawa sebagai komuditas ekonomi. Lawakan kebanyakan mengemas tawa dengan mengeksploitasi kepalsuan-kepalsuan.

Kekurangan aspek fisik manusia dianggap sebagai bahan tertawaan, dan tawa yang diciptakan tidak banyak memuat kearifan spiritual, tawa jenis ini lebih tepat dianggap sebagai ledekan terhadap ciptaan Tuhan, lebih dalam lagi tawa yang dipenuhi pengingkaran terhadap ketuhanan.

Dalam bahasa Rumi tawa jenis dianggap tawa tanpa bunga.

Jalaluddin Rumi menulis :

Tawaku seperti bunga, Bukan sekedar tawa mulut
Dari tak maujud aku maujud, Dengan gembira dan penuh keriangan
Namun cinta mengajari, Cara lain untuk tertawa
Sang muallaf tertawa, Kalau beruntung
Bak rumah kerang,
Aku tertawa ketika berduka.

Dunia tawasuf adalah dunia orang-orang yang ingin melakukan perjalanan ruhani yang panjang, mendekatkan diri keharibaan Tuhan, atau lewat konsep yang lain malah menuju “Tuhan” sendiri.

Lewat latihan-latihan spiritual (riyadhah) kaum sufi berupaya manangkap realitas lain dari yang ada selama ini,
lewat riyadhah inilah yang kadang-kadang sampai dan tidak, dan tidak sedikit yang terjebak dalam sebuah “ketersesatan”.

Para sufi mengalami pengalaman-pengalaman spiritual yang teramat sukar untuk diceritakan untuk konsumsi orang awam. Seolah-olah mereka mulai mendapatkan dan merasakan “ruh tasawuf”, ruh ini pulalah yang dalam proses perjalanan riyadhah itu banyak diceritakan oleh kaum sufi baik lewat cerita ataupun ucapan-ucapan mereka, kadang-kadang jenaka atau malah sulit diberi makna.

Rasa-rasanya tidak mungkin untuk menangkap ruh tasawuf tanpa humor sufi.

Kita tak harus berdebat dengan beragam spekulasi filosofis.

Kaum sufi amat menyukai pesan-pesan verbal maupun bukan - biasa dapat membuka kedok orang yang suka pamer ilmu. Humor dalam perpekstif sufi adalah satir tentang hidup dan kehidupan itu sendiri.

Karena sulitnya mengajarkan konsep-konsep tasawuf para guru sufi lebih banyak menempuh jalan bercerita
dalam mentransfer ajaran-ajarannya, disamping agar mudah dipahami para murid, juga agar tidak disalahpahami oleh para penentang tasawuf - para pembenci humor -.

Dengan cerita atau melalui humorlah para sufi pemula mulai bisa memulai pengembaraan panjang ke dunia sufi yang tiada bertepi. Dengan humor pulalah kita bisa memahami pandangan kaum sufi tanpa harus dipenuhi lipatan kulit di dahi kepala atau dengan kening berkerut.

Namun kemampuan para sufi untuk menyampaikan hal-hal yang serius dengan hal yang jenaka, yang mengagumkan dengan yang tampaknya konyol, inilah yang membedakan antara tasawuf dari banyak agama dan filsafat pemikiran lainnya.

Dengan humorlah para guru sufi mengajarkan konsep tasawuf bagi muridnya tanpa merasa digurui.

Humor dalam perpektif sufi juga merupakan gambaran masyarakat.

Dalam sastra Arab atau tulisan para sufi klasik atau, tokoh-tokoh yang banyak disebut dalam cerita-cerita sufi
antara lain Mulla Nasruddin Hoja dan Bahlul.

Dalam beberapa kisah di berbagai negeri Persia seperti di Iran dan Irak, Bahlul seringkali menjadi tokoh dalam sejumlah kisah yag dinisbahkan kepada Mulla Nasruddin (atau sebaliknya).atau di Mesir cerita Bahlul lebih sering serupa dengan nama si Juha yang dalam sastra Arab dikenal sebagai tokoh kocak tetapi bijak, lucu tapi serius, bodoh tapi cerdas.

Dalam sebuah kisah dalam Matsnawi Bahlul pernah diceritakan dimana ia pernah berkata kepada beberapa orang
bahwa dia berpura-pura sebagai orang tolol, sejak ia dianggap sebagai orang paling arif dikotanya
dan karena itu, masyarakat kota mendesak dirinya untuk menjadi hakim, tapi ditolaknya dengan berlagak tolol.

Dari kisah-kisah yang dikenal selama ini sedikit sekali kita menemukan mereka tampil benar-benar sebagai orang arif, barangkali karena itulah lakon mereka dalam cerita sufi tidak pernah berakhir apalagi mengalami kematian.
Seandainya cerita-cerita mengenai mereka hanya mengandung nilai pendidikan barangkali kisah-kisah itu sudah lama tergeletak berdebu di rak-rak perpustakaan.

Sebuah cerita tentang si Juha, mengantar kita ke akhir tulisan ini :

Suatu hari Juha berangkat ke pasar menunggang keledainya, ia menambatkan keledainya dengan seutas tali.
Tanpa diketahui, dibelakangnya ada dua orang pencuri.
Begitu Juha masuk ke pasar, salah seorang di antara mereka melepaskan keledai dari pengikatnya
dan membawanya pergi. Kawannya mengikatkan tali keledai itu ke lehernya sendiri.
Kembali dari pasar Juha terkejut. Ia mendapatkan keledainya hilang. Sebagai gantinya, ia melihat orang tidak dikenal dengan tali keledainya. “Siapa anda?” tanya Juha. Orang itu merunduk seperti sedih dan malu,
“Saya ini keledai yang engkau miliki. Dahulu saya durhaka kepada orang tua.
Saya diubah Tuhan menjadi keledai. Hari ini orang tua saya sudah memaafkan saya. Dan Tuhan mengembalikan saya kepada bentuk semula.”
Juha jatuh iba. Ia melepaskan orang itu sambil memberi uang untuk bekal pulang, ia memberi nasihat,
“Jadikan kehidupan yang lalu sebagai pelajaran berharga. Janganlah sekali-kali menyakiti orang tuamu.”
Keesokan harinya Juha ke pasar lagi. Ia terkejut, seseorang tak dikenal lainnya sedang menawarkan keledainya.
Juha yang telah memiliki keledai itu bertahun-tahun, tentu saja mengenalnya dengan baik.
Segera ia mendekati keledainya. Ia berbisik ditelinganya,
“Sudah kuperingatkan kamu jangan durhaka kepada orang tua.
Baru sehari aku bebaskan kamu sudah melakukan dosa yang sama. Sekarang rasakan saja hukumanmu.”

Boleh jadi anda cuma tersenyum atau bahkan tertawa renyah, tetapi mudah-mudahan tawa kita adalah tawa yang menuju Tuhan.